Beranda Kisah-Sejarah Antara Menulis dan Kyai Jawa yang Menipu Setan

Antara Menulis dan Kyai Jawa yang Menipu Setan

blog.rebelwalls.com

Menulis dan membaca adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Seperti dua sisi mata uang. Ketika menulis orang butuh membaca untuk memperkaya bahasa dan ilmu pengetahuan. Ketika membaca orang butuh menulis untuk agar pengetahuannya tidak terhenti begitu saja, tidak mandeg. Sayangnya, orang yang suka membaca belum tentu rajin menulis. Sementara orang yang menulis dipastikan ia akan rajin membaca dan produktif menulis. Nah, menyinggung kalimat terakhir, bagaimana agar produktif menulis sebagai upaya pentransferan ilmu?

Ada dua ulama besar di Jawa. Keduanya suka menulis. Bedanya, yang  satu sangat produktif menulis dan yang satu kurang begitu produktif menulis.  Yang satu ini bapaknya Gus Mus (Mustofa Bisri) yakni Kyai Bisri Mustofa, seorang ulama di Jawa Tengah yang sangat produktif.  Ia punya tafsir Al-Ibriz, punya buku syi’ir-syi’ir bahasa Jawa banyak sekali. Dia punya teman satu angkatan, dulu satu pesantren namanya Kyai Ali Ma’sum—yang punya pesantren di Krapyak Jogjakarta.

Suatu ketika, mereka berdua berbincang-bincang.

Kyai Ali Ma’ sum: Kang, sampeyan kok bisa produktif (menulis) itu gimana? Dulu kayaknya di pesantren, pinteran saya lho dibanding sampeyan. Ushul Fiqih pinter saya, tafsir pinter saya, lho sampeyan kok produktif, banyak tulisannya.  Gimana ceritanya?

Kyai Bisri: Ini karena kamu salah niat. Mbok kayak saya. Karena kamu itu kalau nulis niatnya selalu lillahi ta’ala. Kalau karena Allah, setan itu menggoda. Ngantuk-ngantuk, males-males, akhirnya nggak jadi. Karena diberat-beratin sama setan.

Kyai Ali Ma’ sum: Kok ngono, Kang?

Kyai Bisri: Kalau saya nulis niatnya nawaitu lil qodhil. Niat menulis karena untuk kendhil  (periuk) agar dapat mengepul.  Lha karena nulis saya bukan karena Allah, setan itu membantu. Ayo nulis biar dapat mengepul. Gitu, Kang! Tapi begitu tulisan sudah jadi. Kemudian naskah sudah saya edit lengkap, ketika mau ke penerbit, setan saya tipu. Niat saya ubah, saya menerbitkan tulisan saya niatkan karena Allah. Setan pun kecewa, mau gagal juga percuma karya sudah jadi.

Itulah dialog dua ulama besar. Yang kita baca dari dialog tersebut adalah kesegaran niat. Kyai Bisri Mustofa tak salah juga. Kita menulis diniatkan untuk mencari nafkah itu tidak salah. Boleh.  Mau nulis, lalu tulisannya banyak dibaca, banyak uang untuk membantu sesama itu dibolehkan. Murni karena Allah tentu bagus, namun ini levelnya khowasul khowas (khususnya khusus) jika marhalah penulis sudah sangat tinggi. Wallahua’lam. [Paramuda/BersamaDakwah]