Setiap kali mendengar hadits-hadits shahih, nama sahabat yang paling sering muncul adalah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Meskipun hanya sebentar bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sahabat Nabi ini berhasil mengejar ketertinggalan. Sepenuh perjuangan ia membersamai Nabi lalu namanya berada dalam jajaran sahabat perawi hadits, bahkan menempati posisi tertinggi.
Siapa nama asli Abu Hurairah, bagaimana kisahnya masuk Islam, serta bagaimana perjalanan hidupnya? Mari kita susuri bersama biografi sahabat yang meriwayatkan 5.374 hadits ini.
Daftar Isi
Nama Asli Abu Hurairah
Kita lebih mengenal nama kauniyah ini daripada nama asli sahabat Nabi ini. Siapa nama asli Abu Hurairah Ad-Dausi?
Nama aslinya pada masa jahiliyah adalah Abdu Syam. Nama asli Abu Hurairah pada masa Islam adalah Abdurrahman. Rasulullah sendiri yang memberi nama ini. Lalu beliau juga memberikan nama kuniyah Abu Hirrin. Lalu, para sahabat memanggilnya Abu Hurairah.
Dengan demikian, Abdurrahman bin Shakhr adalah nama aslinya. Kita bisa mendapatinya dalam hadits Arbain Nawawi ke-9. Demikian pula menurut Syekh Abdurrahman Raf’at al-Basya.
Ia berasal dari suku Daus. Oleh karena itu, nisbatnya adalah Ad-Dausi. Suku Daus ini menempati daerah sebelah selatan Bani Kinanah, termasuk wilayah Tihamah karena berada di pesisir Laut Merah.
Sahabat yang juga memiliki nisbat yang sama adalah Thufail bin Amr Ad-Dausi. Thufail memang satu kabilah dengannya. Bahkan, Thufail adalah pemimpin Kabilah Bani Daus yang mendakwahi dan mengajaknya masuk Islam.
Baca juga: Abu Dzar Al-Ghifari
Perjalanan Masuk Islam
Sebagian ulama menyebut Abu Hurairah memeluk Islam pada tahun terjadinya Perang Khaibar, yakni 7 hijriah. Ia termasuk dalam rombongan kabilah Bani Daus di bawah pimpinan Thufail bin Amr ad-Dausi. Setelah berhasil mendakwahi mereka, Thufail sengaja membawa mereka ke Madinah untuk bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Namun, sebagian ulama lainnya menyebut bahwa ia masuk Islam beberapa tahun sebelum itu. Kisahnya bermula saat Thufail datang ke Mekah lalu bertemu Rasulullah dan masuk Islam. Lalu Rasululah memintanya pulang ke kabilahnya untuk mendakwahi mereka.
Beberapa lama kemudian, Thufail kembali ke Mekah menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia melaporkan kondisi kaumnya yang tidak mau menerima dakwah, bahkan mendustakan dan menyakitinya. Thufail minta Rasulullah mendoakan kecelakaan bagi mereka. Namun, beliau justru mendoakan agar Kabilah Daus mendapat hidayah.
Setelah mendapat doa dan nasihat dari Rasulullah, Thufail menjadi lebih sabar berdakwah. Abu Hurairah termasuk orang pertama yang masuk Islam berkat dakwah Thufail. Lalu setelah banyak yang masuk Islam dan mendengar bahwa Rasulullah sudah hijrah ke Madinah, Thufail membawa mereka ke Madinah.
Baca juga: Abu Darda
Mengapa Disebut Abu Hurairah
Umumnya, nama kuniyah terambil dari nama anak laki-laki pertama. Lalu mengapa sahabat Nabi ini memiliki nama kuniyah Abu Hurairah yang sekilas artinya adalah bapak kucing?
Ketika tiba di Madinah, Rasulullah mengubah nama Abdu Syam menjadi Abdurrahman. Inilah nama asli sahabat Nabi ini. Suatu hari, ia menemukan kucing yang kedinginan. Karena kasihan dan sayang, ia memasukkan kucing tersebut ke lengan jubahnya. Lalu Rasulullah mengetahuinya. Sejak saat itu, Rasulullah memanggilnya Abu Hirrin. Orang yang menyayangi kucing.
Lantas para sahabat memanggilnya dengan nama kuniyah itu tetapi kucing-nya dalam bentuk muannats hingga menjadi Abu Hurairah. Sebenarnya, Abdurrahman lebih senang dengan nama Abu Hirrin pemberian Rasulullah. Namun karena para sahabat memanggilkan Abu Hurairah, akhirnya ia lebih terkenal dengan nama itu.
Baca juga: Abu Bakar Ash-Shiddiq
Mengejar Ketertinggalan
Dibandingkan banyak sahabat Nabi, apalagi assabiqunal awwalun, masuk Islamnya Abu Hurairah tergolong ‘terlambat.’ Pertemuannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk ‘tertinggal.’ Namun, itu tak membuatnya menyalahkan keadaan. Justru itu membuatnya tertantang untuk mengejar ketertinggalan.
Waktu itu usianya sekitar 26 tahun dan belum menikah. Maka, ia memutuskan menjadi ahlus shuffah. Tinggal di serambi Masjid Nabawi sehingga bisa selalu shalat berjamaah dan mengikuti Majelis Nabi. Ia juga ber-mulazamah, mengikuti ke mana pun Rasulullah pergi. Dengan demikian, ia menjadi orang yang paling banyak mendapatkan hadits Nabi.
Meskipun hanya empat tahun berjumpa Rasulullah, Abu Hurairah menjadi sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Sebanyak 5.374 hadits ia riwayatkan. Sekitar 104 sahabat dan 696 tabi’in meriwayatkan darinya.
Tadinya, sahabat ini tidak serta merta mampu menghafal seluruh hadits Nabi. “Ya Rasulullah, aku mendengar demikian banyak hadits darimu. Namun, tidak semuanya aku hafal.”
Rasulullah tersenyum melihat kesungguhan sahabatnya ini. Beliau menyuruhnya membentangkan serbannya. Lantas beliau menggerakkan tangan seakan memberikan sesuatu kepadanya yang kemudian menyambut isyarat pemberian itu. “Sejak saat itu,” kata sahabat yang memiliki nama asli Abdurrahman bin Shakhr ini, “aku tidak pernah lupa dengan apa yang beliau sabdakan.”
Dalam riwayat yang lain, sahabat ini berdoa: “Ya Allah, karuniakanlah aku ilmu yang tidak pernah aku lupa.” Rasulullah yang sedang di sampingnya mengaminkan doa itu. Dua sahabat lain mengikuti dengan doa yang sama, tetapi Rasulullah menjawab, “Kalian sudah didahului oleh Abu Hurairah.”
Baca juga: Abu Ayyub Al Anshari
Penghafal Hadits Terbaik
Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis Rasulullah. Tercatat ada 5.374 hadis yang ia riwayatkan. Hal ini membuatnya menempati posisi teratas para sahabat perawi hadits.
Imam Syafi’i memuji kekuatan hafalan sahabat Nabi ini. Menurutnya, tidak ada yang menandingi hafalan Abu Hurairah pada masanya.
Marwan bin Hakam pernah menguji hafalan hadits Abu Hurairah. Ia meminta sahabat Nabi itu meriwayatkan sejumlah hadits. Dari balik ruangan, pembantu Marwan bin Hakam mencatat hadits-hadits tersebut.
Beberapa tahun kemudian, Marwan kembali meminta sahabat ini menyampaikan hadits yang beberapa tahun lalu pernah ia sampaikan. Ternyata, hadist tersebut sama persis, tidak ada satu huruf pun yang berbeda dengan catatan pembantunya.
Selain giat bermulazamah, kunci kekuatan hafalan Sahabat Nabi ini adalah doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka, ketika ada masalah serius, ia pun minta doa kepada beliau.
Salah satu masalah itu adalah ibunya yang belum juga mau masuk Islam. Bahkan, ibunda Abu Hurairah menghina Rasulullah. Dengan hati sedih, Abu Hurairah mengadu kepada Rasulullah dan memohon doa untuk ibunya.
Rasulullah pun berdoa. Tak lama kemudian, ibunda Abu Hurairah memeluk Islam dengan penuh keimanan. Abu Hurairah begitu gembira hingga ia kembali menemui Rasulullah untuk menyampaikan kabar baik tersebut. Ia juga minta doa lagi untuk ia dan ibunya.
“Ya Allah, hambamu Abu Hurairah dan ibunya, jadikanlah manusia mencintainya keduanya,” demikian doa Rasulullah. Maka, sejak saat itu, tidak ada seorang pun yang bertemu keduanya kecuali pasti mencintai mereka berdua.
Baca juga: Abu al Ash bin Rabi’
Ibadah dan Akhlak Abu Hurairah
Mengejar ketertinggalannya, Abu Hurairah rela menjadi ahlus shuffah. Ia rela berlapar-lapar hingga pernah nyaris pingsan demi bisa selalu mulazamah tanpa tersibukkan dengan urusan dunia.
Jika tidak keluar mendampingi Rasulullah, ia selalu shalat lima waktu di masjid Nabawi. Tinggal di masjid juga membuatnya lebih mudah untuk memperbanyak ibadah. Mulai dari shalat sunnah rawatib, shalat sunnah lainnya, dzikir, dan tilawah.
Ia juga berupaya menjadi yang terdepan dalam mengamalkan hadits dari kekasihnya. Maka, ia selalu mengerjakan sholat dhuha, puasa ayyamul bidh, dan shalat witir. Ia menghidupkan malamnya dengan tahajud dan menghidupkan hatinya dengan zuhud. Hasilnya, ia menjadi sahabat ternama yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Kemudian seluruh orang beriman juga mengenal dan mencintainya.
Meskipun kemudian hidupnya berubah setelah Islam tersebar luas dan ia memiliki harta serta jabatan, Abu Hurairah tetap menjadi pribadi yang sederhana dan rendah hati. Ketika menjadi wali kota pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, ia tetap menjaga kesederhanaannya. Bahkan, ia sendiri memikul kayu bakar untuk keluarganya meskipun telah menjabat sebagai wali kota Madinah.
Abu Hurairah juga menjadi teladan dalam ketakwaan. Ia senantiasa membangunkan keluarganya untuk shalat malam dan berpuasa di siang hari. Ketika anak perempuannya merasa minder karena tidak memiliki perhiasan emas, Abu Hurairah menghiburnya dengan berkata, “Ayahmu lebih khawatir akan panasnya neraka daripada memberimu perhiasan dunia.”
Suatu hari, Abu Hurairah pergi ke pasar di Madinah dan berkata kepada orang-orang, “Lemah sekali kalian, wahai penduduk Madinah! Warisan Rasulullah sedang dibagi-bagikan, sementara kalian sibuk di sini.” Ketika mereka bertanya di mana warisan tersebut, Abu Hurairah menjawab, “Di masjid Rasulullah.” Namun, setelah mendatangi masjid, mereka hanya menemukan orang-orang yang sedang membaca Al-Qur’an, berzikir, dan mendalami ilmu. Abu Hurairah pun menjelaskan, “Itulah warisan Rasulullah.”
Suatu ketika, seorang budak perempuan Abu Hurairah yang berakhlak buruk membuatnya marah hingga ia hampir mencambuknya. Namun, ia segera ingat kepada Allah dan memilih memerdekakan budak tersebut. Ia berkata, “Aku takut akan kisas di hari kiamat, maka aku memerdekakanmu karena Allah.” Sikap ini menunjukkan betapa besar rasa takut Abu Hurairah kepada Allah dan kecintaannya pada akhirat.
Baca juga: Abdurrahan bin Auf
Wafatnya Abu Hurairah
Menjelang wafatnya, Sahabat Nabi ini menangis karena merasa bekal amalnya belum cukup untuk perjalanan akhirat. Ia berkata, “Aku menangis bukan karena dunia ini, tetapi karena jauhnya perjalanan dan sedikitnya bekal.”
Abu Hurairah wafat di Madinah dan dimakamkan di sana. Terdapat perbedaan pendapat mengenai tahun wafatnya, tetapi banyak yang menyebut ia wafat antara tahun 57 hingga 59 Hijriah.
Semoga Allah merahmati Abu Hurairah dan menempatkannya di surga terbaik bersama kekasihnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan semoga kita juga Allah masukkan ke surga karena cinta kita kepada Rasulullah dan sahabatnya. [Yahya Haniya/BersamaDakwah]
Referensi:
- Nafahat ‘Athrifah fi Sirah Shahabat karya Syekh Muhammad Raji Hasan Kinas
- Ashabu ar-Rasul karya Syekh Mahmud Al-Mishri
- Shuwar min Hayat ash-Shahabat karya Syekh Abdurrahman Raf’at Al Basya
- Rijal Haula ar-Rasul karya Syekh Khalid Muhammad Khalid