Islam mengajarkan kepada umatnya untuk membangun ukhuwah islamiyah (persaudaraan Islam). Bagaimana bukti ukhuwah islamiyah, hadits Arbain Nawawi 13 ini menjelaskannya. Sekaligus menunjukkan demikian sucinya Islam mengatur tatanan masyarakat dengan persaudaraan sejati yang saling mencintai.
Arbain Nawawi (الأربعين النووية) adalah kumpulan hadits pilihan yang disusun oleh Imam An Nawawi rahimahullah. Jumlahnya hanya 42 hadits, tetapi mengandung pokok-pokok ajaran Islam.
Daftar Isi
Arbain Nawawi ke-13 dan Terjemah
عَنْ أَبِيْ حَمْزَةَ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيِ اللَّهُ عَنْهُ خَادِمِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ . رواه البخاري ومسلم
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pelayan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Baca juga: Hadits Arbain ke-1
Penjelasan Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Nama kunyahnya adalah Abu Hamzah. Beliau adalah sahabat Nabi yang masuk Islam dan menjadi pelayan beliau sejak kecil.
Anas lahir dari pasangan suami istri Malik bin An-Nadhar dan Salhah Ummu Sulaim. Ketika Ummu Sulaim masuk Islam, Malik tetap musyrik. Malik marah saat Ummu Sulaim mengajak Anas bersyahadat dan mengajarinya Islam. Malik pun menceraikan Ummu Sulaim lalu pergi ke Syam dan meninggal di sana.
Ummu Sulaim membawa Anas bin Malik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia ingin putranya yang saat itu berusia 9 atau 10 tahun menjadi pelayan Rasulullah agar dekat dengan beliau dan mendapatkan tarbiyah langsung dari Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, ini adalah Anas putraku. Aku membawanya padamu agar ia bisa membantumu. Maka, doakanlah ia ya Rasulullah,” kata Ummu Sulaim.
Rasulullah pun mendoakan Anas bin Malik: “Ya Allah, limpahkanlah kepadanya harta dan anak yang banyak dan berkahilah setiap pemberian-Mu kepadanya.”
Anas tumbuh menjadi sahabat yang alim. Ia termasuk sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Anas meriwayatkan 2.286 hadits. Jadilah Anas menempati peringkat ketiga setelah Abu Hurairah yang meriwayatkan 5.374 hadits dan Abdullah bin Umar yang meriwayatkan 2.630 hadits.
Ketika dewasa, Anas mendapatkan keberkahan persis sebagaimana doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Anas memiliki banyak harta, sedangkan jumlah anak dan cucunya mencapai 100 orang.
La yu’minu (لا يؤمن) artinya adalah tidak beriman. Namun dalam hadits ini, makananya menurut para ulama adalah tidak sempurna imannya.
Ahadukum (أحدكم) artinya adalah salah seorang di antara kalian. Yakni seseorang yang mengaku beriman.
Akhi pada lafazh li akhiihi (لأخيه) adalah saudara sesama muslim. Namun, ada pula ulama yang berpendapat bahwa maksudnya adalah saudara sesama manusia. Muhammad bin Abdullah Al-Jardani Ad-Dimyati mengemukakan dua pendapat ini dalam kitabnya, Al-Jauhar Al-Lu’luiyyah fi Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah.
Baca juga: Hadits Arbain ke-2
Kandungan Hadits dan Pelajaran Penting
Hadits ini menunjukkan pondasi persaudaraan Islam (ukhuwah islamiyah) yang sama sekali berbeda dengan ikatan persaudaraan lainnya di dunia. Pondasi persaudaraan Islam adalah cinta. Persaudaraan Islam berangkat dari ketulusan hati, bukan sekadar lisptik atau basa basi. Bukan pula berbasis kepentingan pribadi.
Hadits ini juga menunjukkan bagaimana Islam menuntun terbentuknya masyarakat yang harmonis dan penuh kasih sayang. Juga pelajaran lain yang sangat berharga. Bahkan, Muhammad bin Abdullah Al-Jardani Ad-Dimyati menyebut hadits ini sebagai kaidah atau dasar Islam.
Berikut ini enam poin utama kandungan hadits Arbain Nawawi ke-13:
1. Pondasi Ukhuwah Islamiyah
Mayoritas ulama memaknai hadits ini: Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai kebaikan untuk saudaranya sesama muslim sebagaimana ia mencintai kebaikan untuk dirinya. Ada pula yang memaknai: Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Baik makna pertama maupun kedua menunjukkan pondasi ukhuwah islamiyah. Yakni mencintai sesama muslim dan menginginkan kebaikan untuk mereka. Persaudaraan yang Islam ajarkan adalah persaudaraan berbasis kasih sayang bukan berbasis kepentingan. Persaudaraan yang berangkat dari ketulusan hati sehingga abadi, bukan sekadar jargon yang mudah berubah menjadi permusuhan saat terjadi perbedaan kepentingan.
Baca juga: Hadits Arbain ke-3
2. Membangun Masyarakat yang Harmonis
Hadits Arbain Nawawi 13 ini juga mengarahkan terbentuknya masyarakat yang harmonis. Dengan dasar saling mencintai, terbentuklah masyarakat yang harmonis. Masyarakat yang bersatu di atas landasan kasih sayang.
“Maksud hadits ini adalah menuntut persamaan yang menyebabkan timbulnya rasa cinta sehingga keselarasan dapat langgeng di antara manusia dan teratur keadaan hidup mereka,” tulis Muhammad bin Abdullah Al-Jardani Ad-Dimyati dalam Al-Jauhar Al-Lu’luiyyah fi Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah.
Bahkan, kalaupun pada masyarakat itu ada yang tidak beriman alias kafir, makna ketiga sebagaimana Al-Jardani kemukakan memberikan panduan. Yakni mencintai kebaikan untuk saudaranya sesama manusia, bukan hanya muslim saja. Menurut Al-Jardani, kebaikan adalah kata yang mencakup berbagai ketaatan dan hal-hal yang mubah, baik bersifat duniawi maupun ukhrawi.
Maka, ia ingin saudaranya itu mendapatkan hidayah sebagaimana ia suka mendapatkan hidayah. Ia ingin saudaranya itu masuk Islam lalu masuk surga sebagaimana ia suka masuk surga. Demikian pula ia ingin saudaranya itu bahagia sebagaimana ia hidupnya bahagia.
Baca juga: Hadits Arbain ke-4
3. Kesempurnaan Iman
Sebagaimana penjelasan di atas, permulaan hadits ini adalah la yu’minu (لا يؤمن) yang makananya adalah tidak sempurna imannya. Maka, kecintaan kepada saudara terutama sesama muslim menunjukkan sempurna tidaknya iman seseorang.
Jika seorang muslim mencintai saudaranya dan mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai kebaikan itu untuk dirinya sendiri, maka sempurnalah imannya. Jika tidak, imannya masih belum sempurna.
Maka, orang yang imannya sempurna, ia tidak akan hasad kepada saudaranya. Sebab hasad itu bertolak belakang dengan mencintai kebaikan untuk saudaranya.
Contoh, seseorang suka rezeki yang berlimpah. Jika ia juga suka rezeki saudaranya berlimpah, itu tanda imannya sempurna. Namun, jika ia tidak suka saudaranya memiliki rezeki berlimpah apalagi hasad dengan menginginkan rezeki saudaranya hilang atau berkurang, maka imannya cacat.
Contoh lain, seseorang suka mendapatkan jabatan. Jika ia juga suka saudaranya mendapatkan jabatan seperti itu, itu tanda imannya sempurna. Namun, jika ia tidak suka saudaranya menduduki jabatan bahkan ingin jabatan saudaranya itu lepas, maka imannya cacat.
Demikian pula dalam hal ibadah mahdlah. Misalnya, seseorang suka mendapatkan pahala dengan sholat tahajud. Jika ia juga suka saudaranya rajin tahajud, itu tanda imannya sempurna. Namun, jika ia tidak suka saudaranya shalat tahajud, maka imannya cacat.
Syekh Musthofa Dieb Al-Bugha dalam Al-Wafi menjelaskan, termasuk pula tanda kesempurnaan iman, ia berharap saudaranya yang masih kafir mendapatkan hidayah. Jika ia lebih suka orang-orang non muslim mati dalam kekafiran, imannya masih belum sempurna.
Baca juga: Hadits Arbain ke-5
4. Iman Bertingkat-tingkat, Naik dan Turun
Hadits arbain nawawi 13 ini juga menunjukkan bahwa iman itu bertingkat-tingkat. Ada yang paling sempurna sebagaimana imannya para Nabi dan Rasul, ada yang mendekati sempurna, dan ada yang masih jauh dari sempurna.
Iman juga naik dan turun. Naik dengan ketaatan, turun dengan kemaksiatan. Termasuk soal mencintai saudara ini juga menjadi tanda naik turunnya iman. Ketika kita sangat mencintai saudara kita dan mencintai kebaikan untuk mereka, tandanya iman kita sedang naik dan mendekati sempurna. Sebaliknya, ketika kita tidak mencintai kebaikan untuk suadara kita, itu pertanda iman kita sedang turun dan jauh dari sempurna.
Baca juga: Hadits Arbain ke-6
5. Berlomba Mendapatkan Kebaikan
Karena iman itu naik dengan ketaatan, kita pun kemudian harus berlomba-lomba untuk mendapatkan kebaikan. Kita harus memiliki semangat fastabiqul khairat.
Menginginkan kebaikan dan ketaatan sebagaimana orang-orang shalih bukanlah hasad. Menginginkan kebaikan dan ketaatan melampaui rata-rata orang juga bukan termasuk hasad. Sepanjang tidak menginginkan kebaikan atau nikmat orang itu hilang.
Menurut Imam Ghazali, hasad itu ada tiga macam. Pertama, menginginkan hilangnya nikmat orang lain meskipun tidak berpindah kepadanya. Kedua, menginginkan nikmat orang lain hilang dan berpindah kepadanya. Ketiga, ia benci jika orang lain mendapat nikmat melebihi dirinya.
Baca juga: Hadits Arbain ke-7
6. Akar Kebajikan dan Kesantunan
Mengamalkan hadits Arbain Nawawi 13 ini akan melahirkan kebajikan dan kesantunan. Sebab ia tidak akan mencelakai orang lain, sebagaimana ia tidak ingin celaka. Tidak suka orang lain mendapatkan keburukan sebagaimana ia juga tidak suka hal itu menimpa dirinya. Ia hanya menginginkan kebaikan bagi orang lain sebagaimana ia menyukai kebaikan untuk dirinya.
Ahnaf yang terkenal sebagai sang penyantun pernah mendapatkan pertanyaan. “Dari mana engkau belajar sifat santun?” Ia menjawab, “Dengan mempelajari diri sendiri.”
“Bagaimana maksudnya?”
“Jika aku tidak suka diperlakukan buruk oleh orang lain maka aku tidak akan melakukan hal semacam itu kepada orang lain.”
Demikian hadits arbain nawawi 13 beserta arti, kandungan, dan pelajaran haditsnya. Semoga Allah menjadikan hati kita mencintai sesama muslim dan mencintai kebaikan untuk sesama manusia. Wallahu ‘alam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]
< Hadits sebelumnya | Hadits berikutnya > |
Arbain Nawawi 12 | Arbain Nawawi 14 |