Beranda Kisah-Sejarah Kisah Sahabat Abu Lubabah: Sahabat Teladan Tobat

Abu Lubabah: Sahabat Teladan Tobat

0
abu lubabah
ilustrasi (adobe express)

Abu Lubabah al-Anshari adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengalami perjalanan hidup penuh pelajaran. Namanya tercatat sebagai teladan dalam bertobat. Dua peristiwa penting dalam Sirah Nabawiyah menghiasi lembaran sejarah dan membuat namanya abadi sebagai sahabat yang bertobat dan menghukum diri.

Nama lengkapnya adalah Rifa’ah bin Abdul Mundzir, dan ia merupakan seorang tokoh terkemuka dari kaum Anshar. Kisahnya penuh dengan hikmah, mencerminkan kekuatan iman, penyesalan mendalam, dan semangat untuk menebus kesalahan.

Tokoh Baiat Aqabah, Naqib Madinah

Abu Lubabah Al-Anshari termasuk salah seorang yang ikut serta dalam Baiat Aqabah kedua, momen bersejarah yang memperkokoh dasar Islam di Madinah. Sebuah janji setia untuk melindungi Rasulullah seperti melindungi keluarga sendiri. Dalam baiat aqabah kedua, ia terpilih sebagai salah satu dari 12 naqib. Yakni pemimpin kaum Anshar yang bertugas memimpin dan membimbing komunitas mereka.

Ia termasuk ahli Badar. Ketika peperangan pertama kaum Muslimin melawan kaum Quraisy meletus, ia mendapatkan tanda kehormatan besar karena ikut serta dalam perang fenomenal yang menghasilkan kemenangan gemilang.

Saat Perang Suwaiq, Rasulullah memberikan mengamanahkan kepadanya untuk menjadi wakil di Madinah. Hal ini menunjukkan kedudukan mulia di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sekaligus kepercayaan beliau kepadanya. Ia mengikuti hampir semua peperangan bersama Rasulullah, kecuali Perang Tabuk.

Namun, perjalanan hidup Abu Lubabah tidak selamanya mulus. Pada titik tertentu, ia melakukan kesalahan yang membawa dampak besar bagi hidupnya.

Baca juga: Abu Hudzaifah bin Utbah

Kesalahan di Perkampungan Bani Quraizhah

Peristiwa penting dalam hidup Abu Lubabah terjadi setelah Perang Khandaq, ketika kaum Muslim mengepung perkampungan Bani Quraizhah. Suku Yahudi ini telah berkhianat terhadap perjanjian damai dengan kaum Muslim, sehingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menunjuk Sa’d bin Mu’adz untuk memberikan keputusan terkait pengkhianatan tersebut.

Namun, sebagai salah satu pemimpin suku Aus yang memiliki hubungan damai dengan Bani Quraizhah, Abu Lubabah merasa simpati. Ketika ia menemui mereka, Abu Lubabah memberi isyarat dengan tangannya ke arah tenggorokannya, menandakan bahwa keputusan Sa’d akan berujung pada kematian mereka. Tindakan ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap amanah yang diembannya.

Rasulullah segera mengetahui perbuatannya melalui wahyu Allah. Allah menegur Abu Lubabah dengan menurunkan ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS. Al-Anfal: 27)

Abu Lubabah merasa sangat bersalah dan tidak mampu berkata apa pun. Ia menyadari bahwa tindakannya adalah dosa besar.

Baca juga: Abu Hurairah

Penyesalan dan Tobat yang Mendalam

Puncak kesalahan Abu Lubabah terjadi pada Perang Tabuk. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan seluruh kaum Muslim untuk berjihad di medan perang, namun Abu Lubabah memilih untuk tidak ikut serta tanpa alasan yang jelas. Ketika Rasulullah kembali dari perang, Abu Lubabah menyambutnya dengan salam, tetapi Rasulullah berpaling darinya. Penolakan ini semakin memperberat rasa bersalah Abu Lubabah.

Dalam upaya menebus dosanya, Abu Lubabah memutuskan untuk menghukum dirinya sendiri. Ia pergi ke Masjid Nabawi dan mengikat tubuhnya pada salah satu tiang masjid. Ia bersumpah untuk tetap terikat di sana hingga Allah menerima tobatnya. Setiap kali hendak shalat atau memenuhi hajat, putrinya datang untuk melepaskan ikatannya, namun setelah itu ia kembali mengikat dirinya.

Hari demi hari berlalu, kondisi fisiknya semakin melemah. Selama waktu itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menghiraukannya, meskipun mengetahui keadaannya. Para sahabat yang mencoba membujuk Abu Lubabah untuk melepaskan diri dari ikatannya tidak berhasil. Ia berkata dengan tegas, “Demi Allah, aku tidak akan melepaskan diri hingga Allah menerima tobatku atau aku mati.”

Akhirnya, Allah menurunkan ayat yang membawa kabar gembira:

وَآَخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآَخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan (ada pula) orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka. Mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 102)

Baca juga: Abu Dzar Al Ghifari

Pengampunan dari Allah dan Rasul-Nya

Keluarga Abu Lubabah segera menyampaikan kabar gembira ini kepadanya. Namun, dengan suara lemah, Abu Lubabah bersikeras, “Demi Allah, aku tidak akan melepas ikatanku hingga Rasulullah sendiri yang melepaskannya.” Rasulullah kemudian datang ke masjid, melepas ikatannya, dan memaafkannya.

Sebagai bentuk penebusan, Abu Lubabah berniat meninggalkan desanya dan menyedekahkan seluruh hartanya. Namun, Rasulullah berkata, “Cukup sepertiganya saja.” Tindakan ini menunjukkan bahwa Islam tidak memberatkan umatnya melampaui kemampuan mereka.

Mua’qabah (menghukum diri sendiri) yang ia lakukan kemudian dicontoh oleh beberapa sahabat lain. Mereka yang tidak ikut Perang Tabuk kemudian menghadap Rasulullah dan menginfakkan hartanya sebagai bentuk tobat seraya minta kepada Rasulullah agar memohonkan ampunan untuk mereka.

Baca juga: Abu Darda

Pelajaran dari Kisah Abu Lubabah

Kisah Abu Lubabah memberikan banyak pelajaran berharga. Pertama, ia menunjukkan bahwa tidak ada manusia yang luput dari kesalahan, bahkan sahabat Rasulullah sekalipun. Namun, yang membedakan adalah sikap terhadap kesalahan tersebut. Abu Lubabah menyesali perbuatannya, menunjukkan keikhlasan dan kesungguhan dalam bertobat.

Kedua, tindakan Abu Lubabah mengajarkan pentingnya menjaga amanah dan kepercayaan. Kesalahan kecil sekalipun dapat membawa dampak besar, terutama jika menyangkut kepercayaan dari Allah dan Rasul-Nya.

Ketiga, Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Sebesar apa pun dosa yang dilakukan, pintu tobat selalu terbuka bagi mereka yang benar-benar menyesal dan bertekad untuk memperbaiki diri.

Abu Lubabah al-Anshari adalah cerminan dari manusia yang tidak sempurna, tapi mampu bangkit dari keterpurukan dengan tobat dan mu’aqabah yang tulus. Ia mengajarkan kepada kita bahwa kesalahan bukanlah akhir dari segalanya. Dengan iman, penyesalan, dan tekad untuk berubah, kita dapat meraih pengampunan dari Allah.

Semoga kisah Sahabat Nabi ini menjadi pengingat bagi kita untuk selalu menjaga amanah, memohon ampunan atas kesalahan, dan tidak pernah putus asa dari rahmat Allah. [Yahya Haniya/BersamaDakwah]

Referensi:

  • Nafahat ‘Athrifah fi Sirah Shahabat karya Syekh Muhammad Raji Hasan Kinas
  • Ar-Rakhiqul Makhtum karya Syekh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri
  • Sirah Nabawiyah karya Syekh Ali Muhammad Ash-Shalabi

SILAKAN BERI TANGGAPAN

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini