Waktu adalah uang, time is money, demikian pepatah Barat mengatakan. Dalam Islam, waktu bukan sekedar uang. Bahkan waktu adalah kehidupan itu sendiri.
Demikian pentingnya waktu, pada beberapa ayat, Allah sampai bersumpah dengannya. Wal fajri, demi (waktu) fajar. Wal laili, demi (waktu) malam. Wadh dhuhaa, demi waktu dhuha. Wal ashr, demi masa.
Ramadhan telah melatih manajemen waktu dengan adanya sunnah mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka. Juga dengan keutamaan shalat berjamaah pada awal waktunya. Lebih dari itu, manajemen waktu di bulan Ramadhan bukan hanya soal jadwal. Namun yang tak kalah penting adalah bagaimana memanfaatkan waktu.
Puasa berkualitas, salah satu indikatornya adalah menggunakan waktu untuk kebaikan dan produktivitas. Sebaliknya, menghindari hal-hal yang tidak bermanfaat bagi dunia maupun akhirat.
Maka, dengan puasa Ramadhan dan seluruh ibadah di dalamnya kita belajar manajemen waktu dengan prinsip-prinsip berikut ini:
Daftar Isi
Menjadikan ibadah sebagai prioritas utama
Ketika mengatur waktu atau menyusun jadwal, kita harus menggunakan jadwal ibadah mahdhah sebagai prioritas utama. Baru setelah itu agenda-agenda lainnya menyesuaikan. Jangan dibalik, karena ada agenda, lalu waktu ibadah kita terkalahkan.
Di bulan Ramadhan, waktu ibadah itu misalnya berbuka puasa. Jika sudah waktunya, kita perlu menyegerakan. Jangan sampai tertunda oleh sesuatu, bahkan oleh kajian atau majlis dzikir sekalipun.
Sedangkan di seluruh bulan baik Ramadhan maupun lainnya, jadwal shalat harus kita utamakan.
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa’: 103)
Artinya, bagaimana kita menyusul jadwal agar tidak menabrak waktu shalat. Sehingga ketika adzan berkumandang, kita bisa segera berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah.
Memastikan waktu kita produktif
Islam ingin membangun masyarakat mulia. Masyarakat yang dipenuhi dengan kebaikan di dunia, yang kemudian mengantarkan kepada kebaikan di akhirat. Ciri utama masyarakat mulia adalah masyarakat yang menggunakan waktunya untuk hal-hal yang bermanfaat dan produktif.
Sebaliknya, masyarakat yang tidak produktif, masyarakat yang menyibukkan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, mereka adalah masyarakat yang merugi. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat Al-Ashr.
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al Ashr: 1-3)
Menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat
Prinsip manajemen waktu ini bersumber dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Arbain Nawawi ke-12:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
Di antara tanda kesempurnaan Islam seseorang, ia meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya. (HR. Tirmidzi dan lainnya; hasan)
Hadits ini pendek tetapi maknanya dalam dan mengandung pelajaran yang sangat luas. Para ulama mengistilahkan dengan jawami’ul kalim (جوامع الكلم) yakni kalimat yang singkat dan padat. Bahwa di antara tanda kebaikan Islam dan kesempurnaan iman seseorang adalah meninggalkan perkara yang sia-sia. Perkara yang tidak bermanfaat baginya, baik di dunia maupun di akhirat.
Hadits ini juga mengajarkan prinsip manajemen waktu. Yakni hanya mengisi waktu dengan hal-hal bermanfaat. Sebaliknya, meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Karenanya Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tidak suka saat melihat pemuda yang melamun. Sebab melamun tidak bermanfaat baik untuk dunia maupun untuk akhirat. Melamun termasuk aktivitas yang sia-sia.
Demikian pula aktivitas lain yang tidak bermanfaat, harus ditinggalkan. Apalagi kalau aktivitas itu justru merugikan orang lain dan merugikan akhirat kita. Misalnya ghibah, mem-bully orang, menyakiti orang lain, dan sebagainya.
Meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat juga merupakan tanda bersihnya hati. Sebaliknya, ketika seseorang menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, itu merupakan tanda hatinya tidak bersih. Sebab ia jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Tanda bahwa Allah berpaling dari seorang hamba adalah jika orang itu menyibukkan diri dengan hal-hal yang tak bermanfaat.”
Memprioritaskan yang wajib dari yang sunnah
Ada sebuah kaidah fiqih yang juga berlaku dalam manajemen waktu. Kaidah ini dipopulerkan oleh Imam As Suyuthi:
الفَرْضُ أَفْضَلُ مِنَ النَّفْلِ
Amalan wajib lebih utama daripada amalan sunnah
Jika dalam satu waktu berbenturan antara kewajiban dengan hal yang sunnah, kita harus memprioritaskan mengerjakan yang wajib. Misalnya seorang dokter yang harus melakukan operasi bedah pada pasien di waktu dhuha. Melakukan operasi adalah kewajibannya, apalagi jika kondisinya darurat, terlambat beresiko nyawa pasien. Maka, ia harus menyegerakan operasi itu. Shalat Dhuha bisa dikerjakan nanti usai operasi. Kalaupun ketinggalan shalat dhuha karena operasinya lama, tidaklah mengapa.
Contoh lainnya, jangan sampai seorang wanita rajin puasa sunnah, tapi tidak membayar qadha puasa Ramadhan. Jika kesempatannya tidak banyak, lebih utama baginya meng-qadha puasa Ramadhan daripada Puasa Senin Kamis.
Kecuali pada amal tertentu yang ada dalilnya. Misalnya seseorang yang tiba di masjid saat khatib sedang berkhutbah. Meskipun mendengarkan khutbah jumat adalah wajib, Rasulullah mengajarkan untuk shalat tahiyatul masjid terlebih dahulu. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]
Untuk ceramah atau kultum Ramadhan lainnya, silakan baca:
Ceramah Ramadhan 2024