Kini kita menyusuri sejarah hidup seorang sahabat yang tadinya enggan masuk Islam. Uwaimir, nama aslinya. Seorang laki-laki dari suku Khazraj yang sukses berdagang sejak muda. Orang-orang lebih mengenalnya dengan nama kuniyah Abu Darda.
Kisahnya masuk Islam cukup unik. Berkali-kali mendapatkan seruan dakwah dari teman dekatnya, Abdullah bin Rawahah, ia tetap bertahan dengan kemusyrikannya. Hingga kemudian, Ibnu Rawahah menghancurkan berhala yang ia sembah, barulah akalnya berpikir dan hatinya terbuka.
Setelah masuk Islam, ia segera mengejar ketertinggalannya. Ia bertransformasi menjadi seorang yang zuhud dan ahli ibadah. Kita akan menyimak episode demi episode kehidupannya yang penuh hikmah.
Daftar Isi
Kisah Abu Darda Masuk Islam
Sebelum masuk Islam, Abu Darda adalah seorang pebisnis muda yang sukses. Namun, ia juga dikenal sebagai penyembah berhala yang teguh pada keyakinan nenek moyangnya. Ia memiliki berhala yang ia simpan dengan penuh kebanggaan dan ia perlakukan dengan penuh pemuliaan.
Layaknya sebagian besar kaum Quraisy dan Anshar saat itu, ia memandang enteng seruan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyembah Allah Yang Maha Esa. Baginya, seruan itu hanyalah ancaman terhadap tradisi lama yang sudah mendarah daging.
Karenanya, ketika berkali-kali Ibnu Rawahah mendakwahinya, ia bergeming. Tak tertarik untuk mengikuti jejak sahabatnya yang telah mengikrarkan syahadat. Namun, ia juga tidak memutuskan hubungan meskipun berbeda keyakinan. Bagaimana pun, ia salut dengan Ibnu Rawahah yang tetap baik padanya meskipun ia tidak mau mengikuti menyembah Allah Yang Maha Esa.
Hingga tibalah Perang Badar. Perang besar pertama antara kaum muslimin dengan musyrikin Makkah. Ketika mendengar kabar pasukan Islam kembali ke Madinah, Abu Darda turut menyambut mereka. Tujuannya satu, memastikan Ibnu Rawahah selamat.
Sahabat yang ia nantikan akhirnya kelihatan. Tak hanya pulang dengan gagah, Ibnu Rawahah juga membawa ghanimah. Uwaimir ikut bahagia.
Keesokan harinya, ia pergi ke toko sebagaimana rutinitasnya. Sedangkan Abdullah bin Rawahah bertamu ke rumahnya. Tentu saja tuan rumahnya tidak ada. Hanya ada istri dan pembantunya.
“Suamiku belum pulang, silakan engkau tunggu sebentar,” kata istri Abu Darda sembari kembali masuk untuk mengerjakan urusan rumah.
Ibnu Rawahah kemudian bergerak ke sebuah ruangan. Aroma harum menyeruak dari ruangan itu. Ruangan penyimpanan berhala. Lalu dengan palu yang telah ia siapkan, Ibnu Rawahah menghancurkan berhala itu berkeping-keping.
Mendengar suara dari ruang berhala, istri Uwaimir segera menuju ke sana. Betapa kaget dan takutnya ia melihat berhala suaminya telah hancur berkeping-keping. Ia langsung menangis membayangkan apa yang terjadi sebentar lagi.
Benar. Tak lama kemudian, suaminya tiba. Melihat sesembahannya hancur, ia ingin marah dan melumat pelakunya. Namun, ia kemudian berpikir lalu mengatakan kepada keping-keping berhalanya, “Jika engkau bisa berbuat sesuatu, pasti engkau tidak membiarkan orang menghancurkanmu.”
Abu Darda kemudian menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyatakan keimanannya. Sejak saat itu, ia menjadi seorang Muslim yang teguh dan selalu mendalami ajaran Islam dengan penuh semangat.
Baca juga: Abu Bakar Ash-Shiddiq
Kearifan dan Keteladanan Abu Darda
Merasa tertinggal Ibnu Rawahah dan sahabat lain yang masuk Islam sejak awal, Abu Darda bergerak cepat untuk belajar dan meningkatkan ketaqwaan. Kapasitasnya sebagai seorang pebisnis dan kecerdasannya sejak muda menjadi bekal untuk mengejar ketertinggalan.
Abu Darda juga merupakan sosok yang sangat bijaksana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan pernah bersabda, “Uwaimir adalah seorang hakim dari umatku.” Sebutan ini menunjukkan betapa tingginya derajat Abu Darda di mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan umat Islam.
Salah satu prinsip hidup yang ia pegang adalah pentingnya mengingat Allah dalam setiap kesempatan. Ia sering mengingatkan penduduk Madinah bahwa mengingat Allah adalah amalan terbaik yang dapat umat Islam lakukan.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Amalan yang paling baik menurut Tuhan kalian, yang akan meninggikan derajat kalian, adalah mengingat Allah yang Maha Luhur.” Abu Darda mengamalkan hal ini dengan penuh kesungguhan.
Baca juga: Abu Ayyub Al Anshari
Keikhlasan dalam Ibadah dan Dagang
Sebagai seorang pedagang, Abu Darda pernah mengalami kerugian besar dalam usahanya. Namun, pengalaman ini justru mempertebal keimanannya. Ia menyadari bahwa berdagang dengan Allah adalah bentuk perdagangan yang paling menguntungkan. Baginya, mengutamakan ibadah kepada Allah lebih penting daripada mengejar keuntungan duniawi. Ia berkata, “Aku ingin menjadi orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli dari mengingat Allah dan mendirikan shalat.”
Keikhlasannya dalam menjalani kehidupan terlihat pula dari sikapnya terhadap sesama. Suatu ketika, ia melewati sekelompok orang yang mengejek seorang pendosa. Ia menegur mereka dengan bijaksana, “Jika ia telah bertobat, maka ia adalah saudara kita. Jangan mengejeknya, tetapi pujilah Allah yang telah memaafkan kalian.” Sikap ini mencerminkan kasih sayang dan kebijaksanaan Abu Darda dalam memandang manusia.
Ketika ada yang bertanya, “Apakah engkau tidak membenci pendosa dan orang yang berbuat maksiat?” Dengan bijak, ia menjawab, “Aku membenci perbuatannya. Jika ia bertaubat dari perbuatan maksiat itu, maka ia adalah saudaraku.”
Baca juga: Abu al Ash bin Rabi’
Persahabatan dengan Salman Al-Farisi
Ketika kaum Muhajirin tiba di Madinah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempersaudarakan Abu Darda dengan Salman Al-Farisi. Persahabatan ini menjadi contoh hubungan berlandaskan iman dan ketakwaan. Salman pernah menasihati Abu Darda yang terlalu keras dalam beribadah hingga melupakan hak keluarganya. Abu Darda menerima nasihat itu dengan lapang dada dan mengamalkannya, menunjukkan sikap rendah hati dan kebijaksanaannya.
Persaudaraannya dengan Salman Al-Farisi demikian kuat sebagaimana yang Rasulullah kehendaki. Bahkan, istrinya pun tahu bahwa Rasulullah telah mempersaudarakan dengan Sahabat Nabi dari Persia ini. Karenanya, ketika ada masalah, ia meminta tolong kepada Salman Al-Farisi. Waktu itu, istrinya keberatan karena Abu Darda selalu qiyamul lail sepanjang malam tanpa tidur dan banyak berpuasa di siang harinya.
Salman pun bertamu ke rumahnya. Ketika Abu Darda hendak qiyamul lail, ia menyuruhnya tidur. Ia menasihati saudaranya itu, “Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak atasmu, istrimu juga punya hak atasmu, tubuhmu juga punya hak atasmu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkan perkataan Salman Al-Farisi ini.
Baca juga: Abdurrahan bin Auf
Kebijakan dalam Kepemimpinan
Sewaktu menjadi amirul mukminin, Umar bin Khattab meminta Abu Darda menjadi qadi (hakim) di Damaskus. Awalnya ia menolak. Namun, Umar menyebutkan alasan yang tak dapat ia tolak.
Uwaimir pun menjalankan amanah itu dengan adil dan bijaksana. Dalam melaksanakan tugasnya, ia selalu berpegang pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah menjadi pegangan hidupnya:
الله يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا وَمَا يَذَّكَرُ إِلَا أُوْلُو الْأَلْبَابِ
Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang berakal yang dapat mengambil pelajaran. (QS. Al-baqarah: 269)
Baca juga: Abdurrahman bin Abu Bakar
Keteladanan dalam Kehidupan
Sebagai seorang sahabat yang arif, Abu Darda tidak hanya menjaga dirinya dari fitnah dunia, tetapi juga berusaha melindungi orang-orang di sekitarnya. Ia senantiasa mengingatkan keluarga dan sahabatnya untuk menaati Allah.
“Aku takut pada hari kiamat nanti aku ditanya tentang ilmu yang aku miliki dan bagaimana aku mengamalkannya,” demikian nasihatnya kepada angota keluarga dan lingkarannya. Ucapannya ini menunjukkan betapa ia memegang tanggung jawab besar terhadap ilmu yang ia miliki.
Ketika ajal menjemput, Abu Darda menangis. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab, “Aku tidak tahu apakah dosaku lebih besar daripada amalku.” Kerendahan hatinya bahkan di saat terakhir hidupnya menjadi cerminan ketaqwaan sejati.
Baca juga: Abdullah Dzul Bijadain
Wafatnya Abu Darda
Abu Darda tutup usia dua tahun sebelum Khalifah Utsman bin Affan wafat. Ia meninggalkan warisan besar berupa keteladanan, kebijaksanaan, dan cinta terhadap Allah serta sesama manusia. Kisah hidup Sahabat Nabi ini adalah bukti bahwa Islam mampu mengubah seseorang menjadi pribadi yang lebih baik. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Darda, sang hakim umat yang bijaksana. [Yahya Haniya/BersamaDakwah]
Referensi:
- Nafahat ‘Athrifah fi Sirah Shahabat karya Syekh Muhammad Raji Hasan Kinas
- Ashabu ar-Rasul karya Syekh Mahmud Al-Mishri
- Shuwar min Hayat ash-Shahabat karya Syekh Abdurrahman Raf’at Al Basya