Beranda Kisah-Sejarah Kisah Sahabat Abu Dzar Al-Ghifari: Zuhudnya Seperti Nabi Isa

Abu Dzar Al-Ghifari: Zuhudnya Seperti Nabi Isa

0
abu dzar al ghifari
ilustrasi

Kali ini kita akan menyusuri sahabat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memuji empat karakternya: jujur, zuhud, tawadhu’, dan menepati janji. Siapa lagi kalau bukan Abu Dzar Al-Ghifari.

Abu Dzar berasal dari suku Ghifar. Sebuah kabilah yang menghuni Lembah Waddan, daerah yang menghubungkan Mekah dengan dunia luar. Kabilah ini bergantung pada semacam pungutan yang mereka kenakan pada kafilah dagang yang lewat. Jika mereka tidak mau memberi secara suka rela, kabilah Ghifar tak segan untuk membegal mereka.

Nama asli sahabat ini adalah Jundab bin Junadah bin Qais bin Amr. Ia terkenal di suku Ghifar karena kejujuran, keberanian, kecerdasan, dan luasnya wawasan.

Perjumpaan dengan Rasulullah

Abu Dzar adalah sosok yang hanif. Ia tidak mau menyembah berhala karena itu bertentangan dengan hati dan akalnya. Bagaimana patung-patung itu menjadi sesembahan padahal mereka benda mati yang tidak bisa berbuat apa-apa.

Mendengar berita bahwa di Mekah ada orang yang mengaku sebagai Nabi terakhir, Abu Dzar sangat penasaran. Ia berharap orang itu benar-benar Nabi sebagaimana harapannya selama ini. Agar umat manusia terbebas dari kegelapan kesesatan paganisme.

Abu Dzar lantas menyuruh Anis bin Junadah untuk menelusuri berita tersebut. Sekembalinya ke Lembah Waddan, adiknya itu mengatakan bahwa ia melihat seseorang yang menyeru kepada keluhuran akhlak dengan kata-kata indah melebihi segala syair. Namun, orang-orang Quraisy menyebut laki-laki tukang sihir.

Cerita Anis tidak menjawab pertanyaan Abu Dzar. Bahkan, semakin membuatnya penasaran. Maka, ia memutuskan untuk berangkat sendiri ke Mekah setelah menitipkan keluarganya kepada sang adik.

Sesampainya di Mekah, Abu Dzar menginap di rumah Ali bin Abu Thalib. Baik di dekat Kakbah maupun di rumah itu, ia memperhatikan setiap pembicaraan tetapi sampai dua hari tidak juga mendapatkan informasi tentang Sang Nabi.

Pada hari ketiga, Ali menyapanya. “Paman, sebenarnya apa yang engkau cari?”

Abu Dzar yang sebelumnya sangat berhati-hati agar tujuannya tidak terdeteksi, akhirnya bicara pada Ali. Awalnya ia takut kalau orang-orang Quraisy mengetahui maksudnya, mereka akan menghalangi bahkan menyiksanya hingga tak bisa bertemu Nabi.

“Paman, aku akan membawamu menemui Rasulullah. Ikutilah aku dari belakang. Jika kondisinya tidak aman, aku akan berhenti. Paman juga berhenti agar tidak ketahuan mengikutiku. Jika aku masuk ke sebuah rumah, masuklah ke rumah itu.”

Mengikuti kata-kata Ali, akhirnya Abu Dzar berjumpa dengan Sang Nabi. Ketika mendengar Rasulullah membaca ayat-ayat Al-Qur’an, hatinya langsung terpaut. Saat itu juga, ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Sejak detik itu ia menjadi seorang sahabat. Termasuk assabiqunal awwalun karena ia masuk Islam sebelum banyak orang beriman.

Keberanian Abu Dzar Al-Ghifari

“Apakah yang hendak Paduka perintahkan kepadaku?” tanya Abu Dzar setelah mengikrarkan dua kalimat syahadat.

Rasulullah menjawab, “Kembalilah kepada kaummu dan tunggulah sampai ada perintah dariku.” Dengan keimanan yang membara, Abu Dzar segera kembali ke kaumnya untuk menyampaikan Islam.

Namun, sebelum kembali ke kampung halaman, Abu Dzar membuat sebuah aksi yang menggemparkan. Ia pergi ke Masjidil Haram dan dengan lantang mengucapkan kalimat syahadat di hadapan para pembesar Quraisy. Tindakan ini memicu kemarahan mereka. Mereka pun langsung memukuli Abu Dzar hingga pingsan.

Saat itulah, Abbas bin Abdul Muthalib muncul dan menyelamatkan Abu Dzar. “Celaka kalian! Orang ini berasal dari Kabilah Ghifar. Kalau kalian mencelakainya, mereka pasti akan membalas dengan menghadang kafilah dagang kalian.”

Mendengar kata-kata Abbas, mereka pun membubarkan diri, membiarkan Abu Dzar yang pingsan seorang diri.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian meminta Abu Dzar untuk segera pulang dan mendakwahi kaumnya. Berkat perjuangan dakwahnya, kelak suku Ghifar dan Aslam menerima Islam.

Baca juga: Abu Darda

Keteguhan dalam Keimanan

Umat mengenal Abu Dzar karena keimanan dan keberaniannya. Ia memenuhi amanah Rasulullah untuk mendakwahi kaumnya. Meskipun sempat putus asa karena tak ada yang mau menerima dakwahnya, Abu Dzar terus bersabar hingga kemudian Allah memberikan hidayah kepada kaumnya.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah, Abu Dzar membawa kaumnya untuk bergabung dengan komunitas Muslim di sana. Rasulullah menyambut kedatangan mereka dengan penuh kebahagiaan, “Sungguh Allah telah mengampuni orang Ghifar dan menyelamatkan orang Aslam.”

Selain keberaniannya, Abu Dzar juga terkenal dengan kezuhudannya. Ia hidup sederhana, menghindari perhiasan dunia, dan senantiasa menjaga hatinya tetap terfokus pada Allah. Rasulullah pernah bersabda, “Kezuhudan Abu Dzar di antara umatku seperti kezuhudan Isa bin Maryam.”

Abu Dzar tidak pernah gentar menyuarakan kebenaran, bahkan ketika itu membuatnya berhadapan dengan penguasa atau tokoh-tokoh berpengaruh.

Baca juga: Abu Bakar Ash-Shiddiq

Kritik Sosial Abu Dzar

Setelah Rasulullah wafat, Abu Dzar Al-Ghifari tetap menjaga prinsip-prinsip Islam yang beliau ajarkan. Di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Umar, ia mendukung kebijakan yang sesuai dengan ajaran Nabi.

Namun, ketika Utsman bin Affan menjadi khalifah, Abu Dzar melihat adanya penyimpangan di kalangan sebagian pemimpin Muslim yang mulai terbuai oleh kenikmatan dunia. Ia dengan tegas mengkritik mereka, termasuk Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur Syam.

Nahi munkar yang Abu Dzar sebarkan terutama soal penyimpanan harta dan kemewah-mewahan. Ia mengingatkan mereka dengan ayat ancaman siksa setrika neraka. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (۳٤) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ (۳٥)

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak, tetapi tidak menginfakkannya di jalan Allah, berikanlah kabar ‘gembira’ kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih, pada hari ketika (emas dan perak) itu dipanaskan dalam neraka Jahanam lalu disetrikakan (pada) dahi, lambung, dan punggung mereka (seraya dikatakan), “Inilah apa (harta) yang dahulu kamu simpan untuk dirimu sendiri (tidak diinfakkan). Maka, rasakanlah (akibat dari) apa yang selama ini kamu simpan.” (QS. At-Taubah: 34-35)

Ke mana-mana, Abu Dzar memperingatkan ancaman setrika neraka hingga Syekh Khalid Muhammad Khalid mengatakan, “Seandainya dakwah Abu Dzar memiliki bendera, maka lambangnya adalah setrika.”

Abu Dzar tidak segan menentang ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan. Kritik-kritiknya membuat Muawiyah merasa terganggu, sehingga ia melaporkan Abu Dzar kepada Khalifah Utsman. Utsman kemudian meminta Abu Dzar tinggal di Madinah, tetapi ia menolak dan memilih untuk hidup dalam kesendirian di Rubdzah, sebuah daerah terpencil di luar Madinah.

Baca juga: Abu Ayyub Al Anshari

Kehidupan yang Zuhud

Hidup Abu Dzar di Rubdzah adalah cerminan kezuhudannya yang sejati. Ia hidup sederhana bersama keluarganya, jauh dari gemerlap dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menggambarkan kehidupan Abu Dzar dalam sebuah hadis, “Abu Dzar berjalan seorang diri, meninggal seorang diri, dan kelak akan dibangkitkan seorang diri.”

Asbabul wurud hadits tersebut, ketika pasukan Muslim bergerak menuju medan perang, Abu Dzar tertinggal karena untanya yang tua dan lemah. Tanpa menyerah, ia meninggalkan untanya dan berjalan kaki melintasi padang pasir sambil memanggul perbekalannya. Ketika para sahabat melihat seseorang berjalan dari kejauhan, Rasulullah bersabda, “Apakah itu Abu Dzar?”

Ternyata benar, itu adalah Abu Dzar. Rasulullah kemudian bersabda, “Semoga Allah merahmati Abu Dzar yang berjalan seorang diri, mati seorang diri, dan kelak akan dibangkitkan seorang diri.” Peristiwa ini menjadi simbol keteguhan dan kesendirian Abu Dzar dalam amar ma’ruf nahi munkar.

Abu Dzar selalu mencukupkan diri dengan sedikit yang ia miliki. Bahkan, ketika kaum Muslim telah memperoleh kekayaan setelah penaklukan Mekah, ia tetap mengambil jatah makanan yang sangat sederhana. Baginya, kehidupan dunia hanyalah persinggahan sementara menuju akhirat.

Baca juga: Abu al Ash bin Rabi’

Akhir Kehidupan dan Warisan Abu Dzar

Di akhir hayatnya, Abu Dzar tetap memegang teguh prinsip-prinsip zuhud dan kesederhanaan. Menjelang kematiannya, ia berpesan kepada istri dan anaknya untuk meletakkan jenazahnya di pinggir jalan dan meminta tolong kepada orang pertama yang melewati jenazahnya untuk menguburkannya. Ketika Abu Dzar wafat, wasiatnya dilaksanakan. Abdullah bin Mas’ud dan rombongan penduduk Irak yang sedang dalam perjalanan umrah menemukan jenazah Abu Dzar.

Ibnu Mas’ud menangis saat mengetahui bahwa jenazah itu adalah Abu Dzar. Ia berkata, “Benarlah Rasulullah yang telah bersabda bahwa Abu Dzar berjalan seorang diri, meninggal seorang diri, dan akan dibangkitkan seorang diri.”

Mereka-lah yang kemudian sholat jenazah dan menguburkan jenazah Abu Dzar dengan penuh penghormatan.

Kehidupan Abu Dzar Al-Ghifari adalah teladan nyata bagi umat Islam tentang keberanian, keimanan, dan kezuhudan. Ia tidak pernah gentar menyuarakan kebenaran, meskipun harus menghadapi konsekuensi yang berat. Kehidupannya yang sederhana mencerminkan kesadaran bahwa dunia hanyalah sementara, sedangkan akhirat adalah tujuan utama.

Sahabat Nabi ini juga mengingatkan kita untuk selalu menjaga kejujuran dan menjauh dari ketamakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Pohon-pohon hijau tidak memberikan naungan dan tanah tidak memberikan pangkuan kepada orang yang memiliki ucapan yang lebih jujur daripada Abu Dzar.”

Semoga Allah merahmati Abu Dzar Al-Ghifari, sang pengembara sunyi yang teguh memegang kebenaran. Kisahnya akan selalu menjadi inspirasi bagi kita semua untuk hidup dalam ketaatan kepada Allah dan menjauhi godaan dunia yang menyesatkan. [Yahya Haniya/BersamaDakwah]

Referensi:

  • Nafahat ‘Athrifah fi Sirah Shahabat karya Syekh Muhammad Raji Hasan Kinas
  • Ashabu ar-Rasul karya Syekh Mahmud Al-Mishri
  • Shuwar min Hayat ash-Shahabat karya Syekh Abdurrahman Raf’at Al Basya
  • Sirah Nabawiyah karya Syekh Ali Muhammad Ash-Shalabi

SILAKAN BERI TANGGAPAN

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini