Sikap Rasulullah SAW yang meminta kepada menantunya, Ali bin Abi Thalib ra. untuk tidak mempoligami anaknya, Fatimah, sama sekali tidak bertentangan dengan ayat tentang poligami;
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’: 3)
Permintaan Rasulullah SAW bersifat sangat manusiawi.
Selain sebagai pembawa risalah, Rasulullah SAW juga seorang manusia, yang memiliki istri, anak, menantu serta para sahabat. Hubungan yang bersifat personal antara Rasulullah SAW dengan Ali bin Abu Thalib sangat karib. Sebab, Ali ra. sejak kecil diasuh dan tinggal di rumah Rasulullah SAW. Sehingga kedudukannya sudah layaknya anak sendiri. Dan sebaliknya, Rasulullah SAW sendiri sedari kecil tinggal dan juga diasuh oleh ayahanda-nya Ali ra. Komplitlah kedekatan dan kemesraan antara keduanya.
Hubungan Rasulullah SAW dan Ali ra melewati batas-batas hubungan ‘mainstream’ antara seorang nabi dengan umatnya, mereka tak ubahnya ayah dan anak, teman dekat atau sahabat.
Rasulullah SAW tak jarang ikut campur dalam urusan keluarga Ali ra. dan Fatimah ra. Suatu ketika Fatimah ra. meminta kepada Rasulullah SAW untuk diberikan asisten rumah tangga (ART), namun Rasulullah SAW menolaknya. Bagi Ali ra sendiri, penolakan Rasulullah SAW itu tak membuatnya tersinggung, sebab baginya Rasulullah SAW itu sangat berarti, sangat dekat.
Terkadang Ali bin Abu Thalib ra. merasa ‘salting’ dengan posisi Rasulullah SAW sebagai teman dan sekaligus mertua.
Saking terlihat dekatnya ayah Ali, yakni Abu Thalib dengan Rasulullah SAW, sampai-sampai dia punya kursi khusus yang tak boleh seorang anaknya untuk mendudukinya, kecuali Rasulullah SAW. Sedemikian spesialnya kedudukan Rasulullah SAW di mata Abu Thalib dan putranya.
Ketika Ali ra. menikahi Fatimah ra, hubungan Rasulullah SAW dengan Ali ra. sangat dekat dan mesra. Bagi seorang Ali ra, mertuanya itu sudah layaknya ayahnya sendiri, teman dan tempat curhat yang paling nyaman. Rasulullah SAW juga demikian, baginya Ali bin Abi Thalib ra. lebih dari sekadar seorang menantu, namun teman akrab, sahabat, tempat curhat dan layaknya anak kandung sendiri.
Jadi, wajar dan manusiawi saat Rasulullah SAW menginginkan agar Ali bin Thalib tak menikahi muslimah lain selain putrinya, paling tidak selama Rasulullah SAW bernafas. Permintaan tersebut bersifat sangat khusus; hanya antara mereka saja. Tentu saja sangat tidak bisa dijadikan dasar hukum (syariat) sehingga seolah poligami ‘diharamkan’ dalam Islam.
Ulama ternama As-Sayyid bin Abdul Aziz As Sa’dani pernah mengatakan; sesungguhnya hukum larangan poligami ini khusus untuk putri Rasulullah SAW. dan bahwasannya ia tidak akan berkumpul dengan putri musuh Allah. Oleh sebab itu, putri Rasulullah tidak akan bersatu bersama putri musuh Allah.
Maka argumentasi haramnya poligami hanya berpedoman karena Rasulullah SAW memberikan larangan Ali ra. menikahi Juwairiyah pasca beristrikan Fatimah ra. adalah tak lebih dari argumentasi yang miss. [Paramuda/ BersamaDakwah]
afwan, bukanya yg mempunyai tempat duduk khusus itu kakek nabi ya? abdul muthalib bukan abu thalib pamanya?. sehingga suatu ketika, tatkala nabi duduk di tempat itu dan dilarang oleh paman2nya, maka abdul muthalib berkata: “biarkanlah cucuku ini, kelak ia akan menjadi orang besar.” mohon koreksinya kalau saya salah.
@farkhan iya yang saya pernah baca seprti itu juga, Allahu’alam