Beranda Tazkiyah Benarkah Rasulullah SAW Tidak Bisa Membaca?

Benarkah Rasulullah SAW Tidak Bisa Membaca?

Pertanyaan di atas sebenarnya sudah lama muncul. Di dalam Alquran sendiri tidak ditemukan ayat-ayat yang secara tegas menjelaskan perihal itu. Yang ada hanyalah beberapa ayat yang sama – sama mengandung kemungkinan jawaban ya atau tidak. Terlihat, misalnya pada idiom Alquran “ummiy” . Dari idiom inilah polemik berkepanjangan.

Ada tiga kecenderungan di kalangan ulama dalam memberikan jawaban tersebut.

Pertama, Rasulullah Saw tidak bisa membaca dan menulis sama sekali. Pandangan ini dianut oleh sebagian besar kaum muslimin. Diturunkannya Alquran yang sangat indah dan serasi dari segi bahasa dan kandungannya kepada seseorang yang buta huruf merupakan karakter i’jaz yang sangat tinggi. Sisi kemukjizatannya menunjukkan bahwa ia benar-benar hak prerogatif Allah.

Kedua, awalnya Rasulullah Saw buta huruf, tapi sebelum mangkat, ayah Fatimah itu telah mampu membaca dan menulis. Pendapat ini telah dikemukakan oleh ulama seperti Abu Dzar Abdullah Ahmad El-Harawy, al-Sya’by, Abu al-Walid al-Bajy dan sebagainya (ini dijelaskan Syihabuddin al-Alusy dalam Ruh al-Ma’any). Kemahiran Nabi, menurut mereka, dalam membaca dan menulis tidak akan menafikkan kemukjizatan Alquran bahkan justru akan menambah sisi kemukjizatan lain. Sebab itu semua diperoleh tanpa dipelajari.

Ketiga, selama masa kenabian, Rasulullah Saw telah mampu membaca dan menulis (dalam Tafsir al-Bahr al-Muhith oleh Abu Hayyan). Menurut sebagian Ahl al-Bayt, setiap kali Rasulullah Saw memandang sebuah tulisan, huruf-huruf tulisan tersebut berbunyi sesuai bacaannya.

Pendapat ketiga tampaknya agak sedikit berdekatan. Argumentasi yang digunakan tidak jauh berbeda. Namun lebih jauh mari kita lihat argumentasi masing-masing pendapat.

Pendapat pertama didasari pada alasan diantaranya sifat ummiy yang dilabelkan kepada Rasulullah Saw dan bangsa Arab, masyarakat tempat beliau diutus, di beberapa tempat Alquran (Kata ummiy disebutkan dalam Alquran sejumlah enam kali; dua kali dalam kalimat tunggal dinisbatkan kepada Nabi, empat kali dalam keadaan jamak).

Paling tidak ada tiga pendapat mengenai akar kata ummiy ini.

Pertama, kata ummiy merupakan kata turunan dari kata ummah (umat atau bangsa). Kedua, kata ummiy terambil dari Umm al-Qura (julukan kota Mekkah, tempat Nabi lahir dan dibesarkan) dan ketiga, kata ummiy berasal dari akar kata Umm (ibu). Pendapat pertama dan kedua dikemukakan oleh beberapa pakar bahasa seperti al-Raghib al-Ashfahany, al-Fayruzabady dan Ibnu Manzhur. Menurut mereka, bangsa Arab (Al-Ummah Al-Arabiyah secara umum dan penduduk Umm al-Qura khususnya) ketika itu adalah bangsa atau umat yang belum bisa baca tulis. Kalau pun ada hanya beberapa gelintir orang saja. Ini bisa dilihat dari pernyataan sejarawan terkemuka seperti al-Baladziry. Dalam bukunya Futuh Al-Qur’an ia mengatakan “Ketika Islam datang, di kalangan suku Quraisy hanya ada 17 orang yang bisa menulis.” Mengomentari itu, Ibrahim Anis, mantan ketua Majma’ al-Lughah Al-Arabiyah Mesir mengatakan jika suku Quraisy yang demikian majunya dalam kegiatan bisnis dan mempunyai kekuasaan tinggi di kalangan bangsa Arab seperti itu keadaannya sudah tentu yang lainnya tidak lebih baik.

Dalam alquran ada sebuah ayat terpanjang berupa perintah mencatat setiap transaksi yang dilakukan. Di situ terdapat ungkapan.. Falyaktub baynakum katibun bil adl. Hendaknya di antara kalian ada yang mencatatnya secara adil. Penyebutan ungkapan tersebut setelah perintah mencatat (faktubu) menunjukkan bahwa para penulis dan pencatat masih sangat sedikit sehingga harus dicari setiap kali akan ada transaksi. Dari sini maka diutusnya seorang rasul dari kalangan mereka yang juga tidak menguasai baca-tulis tetapi mampu menyampaikan wahyu Allah tanpa ada perubahan dan penyimpangan merupakan suatu mukjizat. Sebab pada umumnya, orator-orator bangsa Arab yang mengandalkan hafalan dalam orasinya hampir terjebak pada penambahan atau pengurangan ketika menyampaikan orasi yang sama untuk kedua kali. Tidak demikian yang terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw ketika menyampaikan wahyu Allah.

Kedua pendapat di atas diikuti oleh kebanyakan penulis tafsir seperti, al-Zamakhsyary, al-Baydhawy, Abu al-Suud dan sebagainya.

Pendapat ketiga didasarkan pada apa yang pernah dikatakan oleh al-Zajjaj, salah seorang pakar bahasa Arab terkemuka. Menurutnya al-Ummiy huwa ala khilaqat Al-Ummah, lam yata’allam al-kitab, fahuwa ala jibillatihi (ummiy adalah orang yang kondisinya tetap seperti ketika dilahirkan oleh ibunya, tidak bisa membaca dan menulis karena belum mempelajarinya).

Kata ummiy dengan pengertian tidak bisa membaca dan menulis ini didukung oleh sebuah ayat Alquran meski tidak tegas, yang menyatakan: Dan kamu (wahai Muhammad) tidak pernah membaca sebelum Alquran sesuatu kitab pun dan kamu tidak pernah menulis suatu kitab dengan tangan kananmu. Andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang-orang yang mengingkarimu (QS. Al-Ankabut :48). Bahkan Nabi sendiri pernah mengatakan, inna ummatun ummiyatun, La naktabu wala nahsib (Kami adalah bangsa yang ummiy, tidak bisa membaca dan menghitung).

Ketiga pendapat itu bisa saja diterima, namun tidak demikian apabila dilihat dari segi makna. Kata ummiy kalau dari kata Umm memang bisa berarti orang yang tidak bisa membaca dan menulis. Tetapi kalau kata ummiy itu berasal dari ummah atau Umm al-Qura kita tidak dapat menemukan makna ‘tidak bisa baca dan tulis’.

Abdurrahman Badawi, seorang filsuf Arab terkemuka mengatakan mereka yang berpendapat seperti itu sebenarnya hanya menipu diri sendiri. Sebab ketika alquran turun, sebagian bangsa-bangsa yang ada saat itu keadaannya tidak jauh berbeda dengan bangsa Arab. Lalu mengapa hanya bangsa Arab yang disifati demikian? Rasanya juga tidak mungkin untuk mengatakan tradisi tulis menulis di kalangan bangsa Arab sempit atau tidak ada. Ayat-ayat di mana terdapat kata ‘ummiy’ (baik bentuk tunggal maupun jamak) semuanya pun tidak mengindikasikan demikian.

Keberatan Badawi ini pernah dikemukakan oleh beberapa ulama terdahulu (seperti al-Sya’by, Abul Walid al-Bajiy). Menurut pandangan mereka, terlepas dari kapan mulai bisa, pada masa kenabian, Muhamad Saw dapat membaca dan menulis. Adapun sebelum itu, agaknya mereka sepakat dengan pendapat pertama yang menyatakan beliau tidak bisa membaca dan menulis. Menurut mereka, ayat 48 surat Al-Ankabut di atas hanya menerangkan ketidakmampuan ada sebelum Alquran diturunkan. Penyebutan lafal ‘min qablihi’ memberi kesan jelas bahwa Nabi bisa baca dan tulis setelah Alquran turun dan ajaran Islam dikenal. Dengan demikian ungkapan nabi ‘inna ummatun ummiyatun’ tidak berarti selamanya dan semuanya tidak mengerti baca tulis. Tetapi sekadar gambaran tentang kondisi Nabi ketika Alquran turun.

Meski beda pendapat, mayoritas ulama sepakat, bisa atau tidak Rasulullah Saw membaca dan menulis, keduanya tetap menunjukkan mukjizat. Diturunkannya Alquran yang begitu indah dan menakjubkan kepada seorang yang buta huruf adalah tanda ia adalah wahyu Allah Swt, bukan kreasi manusia. Demikian pula kemampuan Nabi Muhammad Saw dalam baca-tulis, setelah sebelumnya buta huruf, tanpa dipelajari adalah bentuk mukjizat lain. Apalagi jika benar apa yang dikatakan sebagian Ahl al-Bayt bahwa huruf-huruf tulisan itu berbunyi sendiri, memberitahukan isinya kepada Nabi Muhammad Saw. Wallahu a’lam [Paramuda/BersamaDakwah]