Beranda Suplemen Ceramah Ramadhan Ceramah Ramadhan Hari ke-10: Arti Mastatho’tum

Ceramah Ramadhan Hari ke-10: Arti Mastatho’tum

0
arti mastathotum

Arti Mastatho’tum merupakan Ceramah Ramadhan 2025 hari ke-10. Cocok menjadi bahan kultum Tarawih pada malam 10 Ramadhan 1446.

Bapak/Ibu jama’ah shalat tarawih hafidhakumullah,
Malam ini kita berada di malam ke-10 Ramadhan 1446 hijriah. Semoga puasa kita selama 9 hari tadi dan selama bulan Ramadhan ini Allah terima. Demikian pula seluruh amal ibadah kita, semoga Allah Ta’ala menerimanya.

Dalam Islam, ada yang namanya perintah, ada yang namanya larangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan panduan bagaimana kita menyikapi perintah dan larangan. Dalam hadits Arbain ke-9 beliau bersabda:

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Apa saja yang aku larang, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menjauhi Larangan

Jamaa’ah shalat tarawih yang Allah muliakan,
Ada dua bentuk larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pertama, larangan yang hukumnya haram. Kedua, larangan yang hukumnya makruh.

Untuk larangan yang hukumnya haram, fajtanibuuh. Jauhilah semuanya. Jangan mencari-cari alasan. Misalnya zina. Pernah seorang pemuda minta izin kepada Rasulullah untuk berzina karena saat itu zina paling ia sukai.

Rasulullah bertanya kepadanya, “Relakah engkau jika ada orang menzinai ibumu?”
“Tidak!” jawab pemuda itu.

“Relakah engkau jika ada orang menzinai putrimu?”
“Tidak!”

“Relakah engkau jika ada orang menzinai saudarimu?”
“Tidak!”

 “Begitu pula orang lain. Mereka tidak rela ibunya dizinai, tidak rela putrinya dizinai, tidak rela saudarinya dizinai.”

Lalu Rasulullah meletakkan tangan beliau di dada pemuda itu seraya mendoakan. “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.”

Setelah itu, pemuda tersebut tidak pernah tertarik untuk berzina.

Contoh lain, korupsi. Kita harus menjauhinya, tidak boleh membuat-buat alasan untuk melakukannya. “Gaji saya kurang.” Lalu korupsi hingga merugikan negara 193 triliun. Padahal gajinya lebih dari satu milyar per bulan.

Dalam hubungannya dengan puasa Ramadhan, perkara-perkara haram ini bukan hanya berdosa tetapi juga membatalkan pahala puasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan palsu dan pengamalannya, maka Allah tidak mempunyai keperluan untuk meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya). (HR. Bukhari)

Misalnya seorang suami menerima THR dari tempat kerjanya. Lalu sore harinya saat tiba di rumah, istrinya bertanya. “Mas, sudah tanggal segini kok THR-nya belum keluar?”

Suaminya menjawab, “Tahun ini tidak ada THR. Apa kamu tidak dengar kalau sekarang pemerintah sampai swasta itu programnya efisiensi?”

Maka, pahala puasa si suami hari itu berkurang atau bahkan hilang sama sekali karena ia telah berdusta.

Apalagi kalau bukan hanya perkataan bohong tetapi perbuatan bohong atau pemalsuan yang merugikan banyak orang. Misalnya mengoplos pertalite jadi pertamax atau memberikan stempel Antam pada emas ilegal.

Menyikapi Perintah: Mastatho’tum

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Untuk perintah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi panduan fa’tu minhu mastatho’tum. Tunaikanlah semampu kalian.

Misalnya shalat. Jika tidak mampu berdiri, boleh duduk. Jika tidak mampu duduk, boleh berbaring. Kalau berbaring tidak mampu, boleh dengan isyarat. Kalau tidak mampu dengan isyarat bagaimana?

Puasa juga begitu. Jika bepergian jauh (safar), boleh berbuka dan wajib meng-qadha’ di hari lain. Jika sakit juga demikian. Kalau sakitnya parah dan tidak ada harapan sembuh, maka membayar fidyah.

Akan tetapi, yang perlu menjadi perhatian kita adalah batasan mastatho’tum. Sering kali kita membuat batasan terlalu rendah, stagnan pada zona nyaman, lalu beralasan bahwa itulah batas kemampuan kita. Padahal, aslinya kita bisa lebih dari itu.

Misalnya saat Ramadhan seperti ini. Ada yang beralasan tidak mampu mengkhatamkan Al-Qur’an padahal aslinya mampu. Ada yang yang beralasan tidak mampu khatam dua kali padahal aslinya bisa. Demikian pula ada yang beralasan tidak mampu berinfak padahal aslinya mampu. Atau beralasan tidak mampu qiyamul lail padahal aslinya mampu.

Pernah murid-murid Syekh Abdullah Azzam bertanya tentang mastatho’tum. Karena istilah ini juga ada dalam Al-Qur’an. Misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertaqwalah kepada Allah semampu kalian… (QS. At-Taghabun: 16)

Syekh Abdullah Azzam tidak langsung menjawabnya. Beliau menyuruh murid-muridnya berlari mengelilingi lapangan. Ada yang baru satu kali sudah berhenti, ada yang dua kali, ada yang tiga kali. Mereka beralasan, itulah kemampuan mereka. Seraya beralasan:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya… (QS. Al-Baqarah: 286)

Lalu, Syekh Abdullah Azzam berlari mengelilingi lapangan. Bukan hanya dua kali, tiga kali, tetapi sebelas kali, dua belas kali, teruus sampai beliau jatuh karena pingsan. Murid-muridnya segera menghampiri, khawatir dengan keselamatan pemimpin sekaligus gurunya di medan jihad Afghanistan itu.

Ternyata Syekah Abdullah Azzam hanya pingsan. Setelah sadar, beliau mengucapkan: “Seperti inilah mastatho’tum. Kalau engkau sudah tidak mampu lagi, barulah laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa.”

Semoga di bulan Ramadhan ini kita lebih tepat memaknai mastatho’tum. Bukan berarti qiyamul lail hingga pingsan atau tilawah hingga tak sadarkan diri. Tetapi lebih bersungguh-sungguh, lebih bermujahadah dalam ibadah dan beramal shalih di bulan suci. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

SILAKAN BERI TANGGAPAN

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini