Beranda Suplemen Opini Habis “Hormati yang Tak Puasa” Terbitlah “Hormati yang Tak Takbiran”

Habis “Hormati yang Tak Puasa” Terbitlah “Hormati yang Tak Takbiran”

Okezone

Rabu (29/6) pekan lalu, Djarot Saiful Hidayat mengeluarkan imbauan yang cukup mengejutkan. Wakil Gubernur DKI tersebut mengimbau agar warga Jakarta tidak melakukan konvoi takbir alias takbir keliling. Apa pasal?  Katanya Pemerintah Provinsi DKI dan Polda Metro Jaya sudah menyepakati untuk membuat suasana aman tanpa huru-hara di malam takbiran.

“Untuk takbiran, kita imbau untuk tidak melakukan takbiran keliling, apalagi dengan menggunakan petasan,” kata Djarot ketika itu.

Apakah takbir keliling menimbulkan kerusuhan?

Kita tentu tidak sepakat jika takbir keliling membuat kita tidak eling (baca: tidak ingat). Sesuatu yang berlebihan membuat kita akan gampang lalai sehingga menimbulkan hal-hal di luar kendali diri. Lalu, apakah takbir keliling dilarang begitu saja? Membungkam syiar Islam atau menyuburkan perpecahan?

“Hormatilah orang yang tidak merayakan takbiran,” begitulah kilah para liberalis.

Ucapan ini mengingatkan kita beberapa minggu yang lalu tentang aksi Bu Saeni yang enggan menutup warungnya di kala bulan puasa. Karena membandel, akhirnya Bu Saeni ditertibkan oleh satpol PP. Atas insiden itu, ramai-ramai para liberalis memanfaatkan momentum itu untuk menggebuk Islam dengan dalih hak asasi manusia. Lalu terbitlah kalimat, “hormati orang yang tidak puasa.”

Lalu, rusuhlah kalimat-kalimat yang meruntuhkan akal sehat. Menabrak aturan-aturan dengan dalih menaati aturan lain. Seperti ujaran; Larangan takbir keliling sama dengan mentaati kebijakan pemda. Sementara ketika daerah lain memuat larangan buka larangan buka bagi warung makan di siang Ramadan sama dengan kebijakan zalim.

Apakah takbir keliling bagian dari ibadah umat Islam?

Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda. Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu membesarkan namaAllah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah: 185)

Pada kalimat yang tercetak tebal itu merupakan dasar dari perintah untuk bertakbir di pengujung akhir Ramadhan, dan pula di awal bulan Syawal alias lebaran.  Tentang cara pelaksanaanya terdapat ijtihad yang bersifat sangat manusiawi. Mau keras atau pelan.

Jika di Jakarta ada larangan takbiran, berbeda cerita dengan provinsi Jawa Timur.

“Hasil koordinasi dengan Polda Jatim, tidak ada larangan khusus lakukan takbir keliling asalkan tertib dan jaga keselamatan,” demikian kata Gubernur Jatim Soekarwo. [Paramuda/ BersamaDakwah]