Surat At Tin (التين) adalah surat ke-95 dalam Al-Qur’an. Berikut ini terjemahan, asbabun nuzul, dan tafsir Surat Al Tin.
Surat ini terdiri dari delapan ayat. Nama surat ini At-Tin yang berarti buah tin, terambil dari ayat pertama. Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengannya pada awal surat.
At Tin termasuk surat makkiyah. Namun, sebagian ulama berpendapat surat ini madaniyah. Surat ini mengajarkan kepada kaum muslimin agar semangat beramal kebaikan untuk mempertahankan kemuliaan manusia dan terhindar dari neraka.
Daftar Isi
Surat At Tin dan Artinya
Berikut ini Surat Al Qadr dalam tulisan Arab, tulisan Latin, dan artinya dalam bahasa Indonesia:
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ (١) وَطُورِ سِينِينَ (٢) وَهٰذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ (۳) لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (٤) ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (٥) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ (٦) فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ (٧) أَلَيْسَ اللّٰهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ (۸)
(Wattiini waz zaituun. Wa thuurisiiniin. Wa haadzal baladil amiin. Laqod kholaqnal ingsaana fii ahsani taqwiim. Tsumma rodadnaahu asfala saafiliin. Illalladziina aamanuu wa ‘amilush shoolihaati falahum ajrun ghoiru mamnuun. Famaa yukadzdzibuka ba’du biddiin. Alaisalloohu bi ahkamil haakimiin)
Artinya:
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?
Baca juga: Ayat Kursi
Asbabun Nuzul
Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menyebutkan asbabun nuzul Surat At Tin khususnya ayat 6. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas mengenai firman Allah tersebut. Ibnu Abbas mengatakan:
“Mereka adalah sekelompok orang yang sudah tua di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka menanyakan kepada Rasulullah tentang akal mereka yang tidak lagi berfungsi. Kemudian Allah menurunkan ayat yang berisi pemakluman atas mereka. Mereka akan diberi pahala dari perbuatan yang mereka lakukan sebelum akal mereka tidak berfungsi.”
Baca juga: Ayat Seribu Dinar
Tafsir Surat At Tin
Tafsir surat At Tin ini kami sarikan dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Tafsir Al-Azhar, Tafsir Al-Munir, dan Tafsir Al-Misbah. Juga tambahan dari referensi lain seperti Awwal Marrah at-Tadabbar al-Qur’an dan Khawatir Qur’aniyah. Harapannya, agar terhimpun banyak khazanah keilmuan tetapi tetap ringkas.
Surat At Tin ayat 1
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ (١)
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun,
Allah mengawali surat ini dengan sumpah. Dia menyebut dua makhluk dalam sumpah-Nya; at-tin (التين) dan az-zaitun (الزيتون).
Ulama tafsir berbeda pendapat mengenai at-tin (التين) dalam ayat ini. Al-Qurtubi mengatakan tin adalah nama masjid Ashabul Kahfi. Al-Aufi mengatakan, menurut Ibnu Abbas, tin adalah Masjid Nabi Nuh di puncak Bukit Al-Judi. Menurut Mujahid dan Ikrimah, tin adalah buah tin.
Sedangkan untuk az-zaitun (الزيتون), tidak ada perbedaan pendapat. Az-zaitun adalah buah zaitun.
Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan balaghah ayat ini dalam Tafsir Al-Munir. Bahwa jika maksud ayat ini adalah tempat kedua buah tersebut yakni Syam atau Baitul Maqdis, maka ayat ini menggunakan majaz mursal dengan ‘ilaaqah haaliyah. Yaitu menyebutkan haal (sesuatu yang menempati) dan menginginkan makna mahaal (tempat).
Contoh ayat lain yang menggunakan majaz mursal dengan ‘ilaaqah haaliyah adalah firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ
Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan. (QS. Al-Infithar: 13)
Kata na’iim (نغيم) artinya nikmat. Di sini ia merupakan majaz. Na’im adalah immateri yang menempati surga dan surga adalah tempatnya.
Surat At Tin ayat 2
وَطُورِ سِينِينَ (٢)
dan demi bukit Sinai,
Ibnu Katsir mengutip perkataan Ka’bul Ahbar, Thuurisiniin adalah bukit tempat Allah berbicara langsung kepada Nabi Musa ‘alaihi salam . Yakni bukit Tursina atau bukit Sinai.
Para mufassirin juga berpendapat serupa. Termasuk Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir, Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, dan Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar.
Baca juga: Surat Al Waqiah
Surat At Tin ayat 3
وَهَذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ (۳)
dan demi kota (Mekah) ini yang aman,
Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Ibrahim An-Nakha’i, Ibnu Zaid, dan Ka’bul Ahbar mengatakan, maksudnya adalah kota Makkah. Agaknya, semua mufassir sepakat dan tidak ada perbedaan pendapat bahwa al-balad al-amin (البلد الأمين) pada ayat ini adalah kota Makkah.
Syekh Amru Khalid dalam Khawatir Qur’aniyah menjelaskan bahwa tiga ayat ini saling terkait. Pada ketiga ayat tersebut, Allah bersumpah dengan tiga tempat bersejarah. Yakni Baitul Maqdis (tempat tumbuhnya buah tin dan zaitun), Bukit Tursina (tempat Allah berfirman kepada Nabi Musa secara langsung), dan Masjidil Haram (Makkah). Ketiga tempat tersebut dimuliakan, diberkahi, dan disucikan.
Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa Allah bersumpah dengan ketiga tempat tersebut karena ketiganya adalah tempat turunnya wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para rasul ulul azmi.
Sedangkan Syekh Adil Muhammad mentadabburi hal lain dalam tiga ayat ini.
“Buah tin adalah isyarat kemanisan, zaitun adalah isyarat kejernihan, bukit Tursina adalah isyarat pada keteguhan, dan negeri yang aman adalah isyarat pada keamanan,” tulisnya dalam Awwal Marrah at-Tadabbar al-Qur’an.
Surat At Tin ayat 4
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (٤)
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik dan rupa paling sempurna. Secara fisik, manusia lebih baik daripada makhluk lain entah itu binatang atau jin. Dan derajat manusia bisa lebih baik dari malaikat sebagaimana Allah memerintahkan malaikat bersujud kepada Adam. Demikian pula para Nabi dan Rasul yang lebih mulia daripada para malaikat.
Al-Qurthubi menyebutkan kisah Isa bin Musa al-Hasyimi yang sangat mencintai istrinya. Pada suatu hari, Isa berkata kepada istrinya, “Kamu tertalak tiga jika tidak lebih cantik dari rembulan.”
Lantas si istri bangkit dan menutup darinya seraya berkata, “Kamu telah menalakku.”
Kemudian, Isa tidur malam. Ketika pagi menjelang, dia pergi ke rumah Khalifah al- Manshur dan memberitahu mengenai hal itu. Setelah mendengar hal itu, al-Manshur sangat kaget dan ketakutan. Akhirnya al-Manshur memanggil para ahli fiqih dan meminta fatwa kepada mereka.
Seluruh ahli fiqih yang hadir saat itu berkata, “Si istri telah tertalak.” Hanya ada satu orang ahli fiqih dari pengikut madzhab Hanafi yang diam tidak bicara.
Kemudian, al-Manshur bertanya kepadanya, “Mengapa kamu tidak berbicara?”
Lantas orang tersebut menjawab dengan membaca surah At-Tin. Setelah sampai pada ayat fi ahsani taqwiim dia berhenti dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya manusia itu adalah makhluk terbaik. Tidak ada makhluk yang lebih baik dari manusia.”
Kemudian, al-Manshur berkata kepada Isa bin Musa, “Pemecahan masalahmu adalah sebagaimana dikatakan oleh orang tersebut. Datanglah kamu kepada istrimu!” Kemudian al-Manshur mengirim surat kepada istri Isa bin Musa tersebut yang berisi agar dia menaati dan tidak menyelisihi suaminya karena suaminya tidak menalaknya.
Surat At Tin ayat 5
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (٥)
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
Mujahid, Abul Aliyah, Al-Hasan, dan Ibnu Zaid mengatakan bahwa maksudnya adalah neraka.
Maka, penciptaan yang paling indah dan sempurna itu jika tidak taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka akan jatuh ke tempat paling rendah yakni neraka. Kalimat ahsana taqwim (أحسن تقويم) dan asfala safilin (أسفل سافلين) merupakan ath-thibaaq (pertentangan).
Manusia bisa lebih mulia daripada malaikat tetapi juga bisa lebih hina daripada binatang. Manusia yang masuk neraka karena dosa-dosanya, ia lebih hina daripada binatang.
Ada pula ulama yang menafsirkan bahwa manusia yang Allah ciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya kemudian kembali menjadi lemah tak berdaya saat tua. Bahkan bisa pikun dan hilang akal sebagaimana asbabun nuzul di atas.
Ibnu Katsir menguatkan pendapat yang pertama. Bahwa manusia yang Allah ciptakan dalam bentuk yang paling baik dan paling sempurna itu akan jatuh ke derajat paling rendah dan masuk neraka jika mereka tidak beriman dan beramal shalih.
Surat At Tin ayat 6
إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ (٦)
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
Orang-orang yang beriman dan melakukan amal shalih akan mendapatkan kenikmatan dengan pahala yang tidak terputus. Mereka akan masuk surga yang kenikmatan dan pahalanya tidak terputus. Perihalnya sama sebagaimana Surat Al-Ashr.
Surat At Tin ayat 7
فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ (٧)
Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?
Ba’du bid-din (بعد بالدين) di ujung ayat ini maksudnya adalah pembalasan di hari kemudian.
Kalian telah mengetahui bahwa sebelumnya kalian tidak ada, lalu Allah menciptakan kalian dalam bentuk sebaik-baiknya. Setelah itu kalian akan mati. Maka, mudah bagi Allah untuk menghidupkan kembali. Apa yang mendorongmu mendustakan hari pembalasan padahal kalian mengetahui kebenarannya?
Surat At Tin ayat 8
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ (۸)
Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?
“Bukankah Allah adalah hakim yang paling adil, yang tidak melampaui batas dan tidak aniaya terhadap seorang pun. Dan termasuk dari sifat adil-Nya ialah Dia mengadakan hari kiamat lalu orang yang dianiaya di dunia bisa membalas kepada orang yang pernah berbuat aniaya kepadanya,” tulis Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
“Bukankah Allah itu Hakim yang seadil-adilnya ketika memutuskan seperti ini? Bukankah kebijaksanaan Allah itu sangat tinggi dalam memberikan keputusan yang demikian kepada orang-orang beriman dan orang-orang yang tidak beriman?” tulis Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an.
Kalimat ini merupakan istifham taqriri, kalimat tanya untuk menetapkan. Jawabannya pasti ya. Pasti benar seperti itu. Karenanya, ketika kita membaca Surat At Tin sampai di ayat terakhir ini, ada sebuah bacaan yang sunnah kita ucapkan sebagaimana kata Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
مَنْ قَرَأَ (وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ) فَقَرَأَ (أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ) فَلْيَقُلْ بَلَى وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِينَ
Barang siapa membaca Wat tiini waz zaituun, lalu sampai pada ayat terakhirnya, yaitu firman Allah (yang artinya) “Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya” maka hendaklah ia mengucapkan (yang artinya) “Benar, dan aku termasuk orang-orang yang menjadi saksi atas hal tersebut.”
Demikian tafsir Surat At Tin. Semoga Allah mudahkan kita untuk meningkatkan iman dan memperbanyak amal shalih sehingga fitrah dan kemuliaan kita terjaga, mendapatkan ridha Allah Subahanhu wa Ta’ala, dan Allah memasukkan kita ke dalam surga-Nya. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]
< Tafsir Sebelumnya | Tafsir Berikutnya > |
Surah Al-Alaq |