Beranda Kisah-Sejarah Kisah Sahabat Abdullah bin Salam: Rabi Yahudi yang Jadi Sahabat Nabi

Abdullah bin Salam: Rabi Yahudi yang Jadi Sahabat Nabi

0
abdullah bin salam
ilustrasi (adobe fiferly)

Abdullah bin Salam adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang istimewa. Berasal dari keturunan Israil, Abdullah sebelumnya adalah seorang pendeta Yahudi di Madinah dan memiliki pengaruh besar di kalangan kaumnya, Bani Qainuqa’.

Sebelum memeluk Islam, namanya adalah al-Hashin bin Salam. Orang-orang Yahudi, terutama Bani Qainuqa’, menghormati dan memuliakannya. Mereka mengenal Hashin sebagai pemuka agama yang memahami ajaran Taurat dengan mendalam, termasuk ramalan mengenai datangnya nabi akhir zaman yang akan mengubah dunia.

Ilmu tentang Nabi terakhir itulah yang justru membawanya pada takdirnya untuk masuk Islam. Ketika berita hijrahnya Nabi Muhammad tersiar, Abdullah bin Salam merasakan bahwa sosok yang Taurat kabarkan telah datang, meski ia berasal dari bangsa Arab yang tidak mereka perkirakan. Keyakinannya semakin kuat saat menyaksikan kehadiran Rasulullah, yang datang dengan sifat-sifat sesuai ramalan dalam kitab suci mereka.

Langsung Masuk Islam Ketika Berjumpa Rasulullah

Pada suatu hari, saat sedang di atas pohon kurma, Abdullah bin Salam melihat Rasulullah bersama Abu Bakar tiba di Madinah. Tak dapat menahan rasa haru, ia berteriak lantang, “Allahu Akbar!” hingga bibinya, Khalidah binti al-Harits, mendengarnya dan penasaran akan kegembiraannya.

Abdullah pun turun dari pohon dan berkata kepada bibinya, Khalidah binti Al-Harits, dengan penuh kebahagiaan bahwa sosok yang mereka nantikan telah tiba. Seorang Nabi terakhir sebagaimana Taurat kabarkan telah hadir di Madinah. Tanpa ragu, Abdullah menemui Rasulullah untuk mengikrarkan syahadat dan masuk Islam.

Sebagai seorang pendeta Yahudi, Abdullah bin Salam sadar bahwa keputusannya memeluk Islam mungkin akan mendapat tentangan keras dari kaumnya. Ia meminta Rasulullah untuk menyembunyikan keislamannya terlebih dahulu guna mengetahui bagaimana reaksi orang-orang Yahudi terhadap dakwah yang baru ini.

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum yang bengal. Mereka terkenal sebagai kaum yang berlumuran dusta dan pembangkangan serta menyimpangkan manusia dari kebenaran. Seandainya mereka tahu aku telah masuk Islam, tentu mereka akan mencela dan memusuhiku.”

Rasulullah pun mengundang beberapa pemimpin Yahudi ke rumahnya untuk membicarakan hal ini. Setelah mereka tiba, Rasulullah bertanya, “Apakah di antara kalian ada yang bernama al-Hashin bin Salam?”

Mereka menjawab dengan lantang, “Al-Hashin adalah tuan kami, dan anak tuan kami. Ia adalah pemuka agama kami dan seorang alim di antara kami.”

Mendengar jawaban itu, Abdullah bin Salam keluar dari ruangan dan menjumpai mereka. Para pemuka Yahudi itu kaget bukan kepalang. Lalu cepat-cepat menarik ucapan mereka, “Kami salah, laki-laki ini bukan golongan kami, dan bukan pemimpin kami.”

Baca juga: Abdullah bin Rawahah

Mendakwahi Kaum Yahudi

Abdullah bin Salam tetap berdiri tegar meski menghadapi penolakan dari kaumnya. Ia berani menyampaikan kepada mereka bahwa apa yang Rasulullah bawa adalah kebenaran yang sebenarnya, sebagaimana tertulis dalam kitab suci mereka. Namun, mereka justru berbalik mencela dan memakinya, bahkan menyebutnya sebagai seorang pendusta.

Abdullah bin Salam menerima hal ini dengan hati yang lapang, karena ia tahu bahwa sebagian besar kaumnya sulit menerima kebenaran yang tak sesuai dengan harapan mereka. Padahal mereka mengetahui persis Rasulullah adalah nabi terakhir sebagaimana Taurat mengabarkannya. Allah pun menurunkan firman-Nya:

الَّذِينَ آَتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (QS. Al Baqarah: 146)

Ayat ini menjadi penegasan bagi Abdullah bin Salam bahwa ia berada di jalan yang benar. Dengan penuh kegembiraan dan ketenangan hati, ia semakin yakin bahwa pilihannya untuk masuk Islam adalah keputusan yang sangat tepat. Sejak saat itu, Abdullah bin Salam menjadi sosok yang tak hanya kuat dalam iman, tetapi juga memiliki kedudukan mulia dalam komunitas Muslim Madinah sebagai seorang cendekiawan dan seorang pemberani.

Baca juga: Abdullah bin Mas’ud

Abdullah bin Salam dalam Pusaran Sejarah

Dalam perjalanan hidupnya sebagai seorang Muslim, Abdullah bin Salam menjadi saksi dan pelaku penting dalam beberapa peristiwa bersejarah. Ia menunjukkan kepeduliannya pada stabilitas umat Islam ketika Khalifah Utsman bin Affan menghadapi situasi genting akibat pengepungan dari kelompok pemberontak.

“Apa maksud kedatanganmu?” tanya Khalifah Utsman saat Abdullah bin Salam menemuinya.
“Aku datang untuk menolongmu.”
“Kalau begitu keluarlah, temui orang-orang dan usir mereka dari tempatku!”

Abdullah bin Salam kemudian keluar menemui orang-orang yang mengepung rumah Khalifah Utsman. Dengan penuh keberanian ia berkata:

“Wahai manusia! Namaku sebelum Islam adalah al-Hashin, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menamaiku Abdullah. Allah menurunkan ayat tentangku:

وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى مِثْلِهِ فَآَمَنَ وَاسْتَكْبَرْتُمْ

…dan seorang saksi dari Bani Israil mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang tersebut dalam) Al Quran lalu dia beriman, sedang kamu menyombongkan diri… (QS. Al-Ahqaf: 10)

Allah juga menurunkan ayat:

وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى مِثْلِهِ فَآَمَنَ وَاسْتَكْبَرْتُمْ

…Katakanlah: “Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan kamu, dan antara orang yang mempunyai ilmu Al Kitab.” (QS. Ar-Ra’d: 43)

Allah memiliki pedang yang Dia sembunyikan dari kalian; malaikat telah mendampingi kalian di negeri kalian ini, negeri tempat Rasulullah tinggal. Demi Allah, mengapa kalian hendak membunuh laki-laki ini (Khalifah Utsman)? Demi Allah, jika kalian membunuhnya, berarti kalian mengusir pendamping kalian, yakni para malaikat, dan pedang Allah yang selama ini disembunyikan dari kalian akan ditebaskan hingga takkan lagi disarungkan sampai hari kiamat.”

Mendengar ucapan itu, bukannya menerima nasihat, mereka malah marah. “Bunuh Yahudi itu! Dan bunuh Utsman!” Teriak mereka.

Baca juga: Abdullah bin Hudzafah As Sahmi

Wafatnya Abdullah bin Salam

Keteguhan hati Abdullah bin Salam dalam membela kebenaran menjadi teladan bagi sahabat dan tabi’in. Di akhir hayatnya, Muadz bin Jabal, mewasiatkan para sahabat untuk menimba ilmu dari Abdullah bin Salam.

“Ilmu dan iman berada pada tempatnya, siapa saja yang mencarinya, niscaya akan meraihnya. Maka, carilah ilmu pada empat tempat, yaitu Uwaimir Abu Darda, Salman al-Farisi, Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin Salam,” kata Muadz bin Jabal.

Abdullah bin Salam wafat pada tahun 43 Hijriah sebagai seorang sahabat Nabi yang istiqomah di jalan-Nya. Perjalanannya dari seorang alim Yahudi hingga menjadi sahabat Nabi menunjukkan perjalanan seorang pencari kebenaran yang sejati.

Baca juga: Abdullah bin Jubair

Hikmah Kisah Abdullah bin Salam

Kisah hidup Abdullah bin Salam memberikan banyak hikmah dan pelajaran berharga bagi umat Islam. Keberaniannya untuk meninggalkan keyakinan lama dan menerima Islam adalah sebuah teladan bahwa kita harus mengikuti kebenaran meskipun itu berarti meninggalkan kenyamanan dan menghadapi penentangan. Keteguhannya dalam memegang ajaran Islam juga menunjukkan pentingnya memiliki prinsip yang kuat dan tidak mudah goyah oleh cercaan atau hinaan.

Di sisi lain, Sahabat Nabi ini juga mengajarkan pentingnya mencari pengetahuan dan kebenaran. Sebagai seorang yang berilmu, ia tidak menutup mata terhadap tanda-tanda kenabian Rasulullah, meskipun ia tahu bahwa hal itu bisa saja bertentangan dengan pandangan mayoritas kaumnya. Ia memilih iman dan kebenaran daripada popularitas dan kehormatan semu di mata manusia.

Abdullah bin Salam akan selalu dikenang sebagai sosok yang melambangkan keberanian, keteguhan, dan pencari kebenaran. Semoga Allah merahmatinya dan menjadikan kisah hidupnya sebagai inspirasi bagi kita semua dalam menegakkan kebenaran, memegang teguh iman, dan terus berusaha mencari ilmu dan kebaikan. [Yahya Haniya/BersamaDakwah]

Referensi:

  • Nafahat ‘Athrifah fi  Sirah Shahabat karya Syeh Muhammad Raji Hasan Kinas
  • Fi Suhbati ar-Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam karya Nizar Abazhah
  • Sirah Nabawiyah Ar-Rakhiqul Makhtum karya Syekh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury