Koalisi Perempuan Indonesia Peduli Palestina (KPIPA) menggelar talkshow berjudul “Membungkam Dunia: Membunuh Jurnalis” pada Konferensi Aktivis Palestina Asia Pasifik untuk Al Quds dan Palestina di Savoy Homann Hotel, Bandung, Ahad (25/5). KPIPA mengangkat tema tersebut untuk menanggapi bungkamnya dunia terhadap apa yang terjadi di Palestina hingga saat ini.
Jurnalis Al Jazeera asal Gaza, Youmna El Sayed dan Maher Atiya Abu Qouta, bersama dengan jurnalis Indonesia Fitriyan Zamzami dari Republika, Ananda Ismail dari SCTV, dan Pizaro Gozali Idrus dari GazaMedia.net bicara di depan 400 orang tokoh perempuan, jurnalis, dan pejabat publik dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Maldives, Filipina, Turki, Tunisia, Mesir, dan Maroko. Sedangkan Kepala Biro Al Jazeera Wael Al-Dahdouh, hadir melalui video.
Zionis Bunuh Jurnalis
Dalam pesan videonya, Wael, mengatakan jika perang genosida di jalur Gaza saat ini terjadi sangat intens. Selain mengaburkan fakta, mereka juga membunuh jurnalis dan keluarganya.
“Siasat perang penjajah yakni genosida saat ini di Gaza terjadi sangat intens, sulit, jelas terlihat, dan melahap segalanya. Tabiat mereka memutar balikkan fakta hingga mencoba mengubur semua kebenaran,” kata jurnalis yang telah kehilangan keluarganya akibat serangan Zionis tersebut.
“Para jurnalis sebagai pembawa kebenaran mengerahkan segalanya untuk menunaikan kewajibannya. Tugas kemanusiaan ini dibayar dengan mahal, bahkan lebih dari 210 orang rekan kami syahid saat menunaikan tugas yang seharusnya dilindungi oleh undang-undang,” terang Wael.
Wael menegaskan, pembunuhan terhadap jurnalis adalah strategi sistematis Zionis. “Biasanya Zionis sudah memiliki target yang akan mereka serang. Misalkan Wael Al-Dahdouh, jurnalis Al-Jazeera di jalur Gaza,” ungkapnya.
Wael lantas menyebut satu per satu nama rekannya yang gugur, termasuk Samar Abu Daqqa, sahabatnya. “Saya harus mengucapkan perpisahan pada teman saya, Samar Abu Daqqa tanpa bisa melihat tubuhnya yang terbujur kaku. Apa salah Abu Daqqa? Lalu apa dosa Mahmoud yang baru berusia 16 tahun, yang hanya ingin menyebarkan foto video kondisi Gaza? Apa salah Hamzah, yang hanya menjalankan tugasnya memberitakan.”
Sementara itu, koresponden Al Jazeera untuk Gaza, Youmna El Sayed, mengatakan jika yang kita saksikan di TV bahkan tidak mencerminkan 10% pun dari apa yang sesungguhnya terjadi.
“Pengalaman bom saat meliput live itu sangat mengerikan. Apa yang orang saksikan di TV tidak mencerminkan 10% pun dari apa yang sesungguhnya terjadi. Bahkan satu misil saja, satu bangunan rumah hancur. Tiga puluh detik kemudian, empat misil menghancurkan bangunan empat lantai bersama bangunan lain di sekitarnya yang meninggalkan abu dan asap teror,” ujar Youmna.
“Menjadi jurnalis Gaza bukan hanya berisiko nyawa, tetapi juga berisiko kehilangan keluarga. Namun anak saya menguatkan. Sejak itu, saya tidak pernah bisa menangis lagi melewati apa yang terjadi,” ungkapnya sembari menceritakan bahwa rumahnya telah hancur akibat bombardir Israel.
Maher juga mengatakan jika mereka merasa dilema apakah akan mengambil gambar atau menyelamatkan.
“Bahkan sampai sekarang saya masih mencium bau darah dan asap. Saya melihat anak terbunuh. Orang yang menonton bisa memutuskan untuk tidak melihat lagi dengan mengganti channel. Tapi kami tidak bisa. Kami harus memaksakan diri untuk melihat dan mendokumentasikan anak, perempuan, laki-laki, dan orangtua yang mengalami hal tersebut di depan mata,” terangnya.
Cara Lain Zionis Bungkam Jurnalistik
Fitriyan Al Zamzami, jurnalis Republika juga bercerita pengalamannya saat vokal menyuarakan Palestina.
“Akun meta kami di-banned, sehingga sangat mempengaruhi finansial Republika yang memang lebih banyak bersumber dari iklan. Kami bahkan beberapa kali di-banned, karenanya kadang kami harus menyiasati penggunaan kata Gaza dan Israel,” jelasnya.
Produser berita Liputan 6 SCTV, Ananda Ismail mengatakan bahwa kurangnya akses masuk Gaza untuk para jurnalis luar menyebabkan minimnya informasi langsung. Hal itulah yang melatarbelakanginya membuat joint Newsroom antara wartawan Indonesia dan Gaza agar sumber-sumber berita langsung berasal dari Gaza.
Pihaknya bahkan sepakat menggunakan kata ‘genosida’ dari yang semula ‘konflik Israel Palestina’ karena melihat eskalasi yang berkembang kini.
“Ini bukan lagi isu militer, tapi ini isu kemanusiaan,” jelasnya.
Senada dengan Nanda, Redaktur Gazamedia.net, Pizzaro menjelaskan bahwa saat ini pihaknya melakukan banyak koneksi melalui podcast dibanding website karena lebih banyak diakses.
Maimon Herawati yang menjadi moderator pada talkshow tersebut menantang para jurnalis Indonesia untuk membentuk joint newsroom yang mempertemukan seluruh wartawan Indonesia dalam satu strategi media, demi merancang pergerakan yang lebih terkoordinasi untuk mendukung perjuangan kemanusiaan di Palestina.
Baca juga: KPIPA: Diam Berarti Setuju Genosida di Gaza
Titik Balik Kebangkitan Perjuangan Palestina
Menurut Ketua KPIPA, Nurjanah Hulwani, Konferensi yang diadakan hingga malam hari ini dinilai sebagai titik kebangkitan melawan segala bentuk kejahatan penjajah zionis Israel dengan mengambil momen dan semangat 70 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA).
Pemilihan tempat konferensi yang dekat dengan museum KAA pun bertujuan untuk mengingat peristiwa bersejarah KAA 1955 saat Indonesia menjadi tuan rumah untuk menyatukan negara-negara Asia Afrika dan membantu negara-negara yang belum merdeka.
“Kita akan kawal sampai Palestina merdeka. Free Free Palestine!,” tegas Nurjanah. []