Beranda Dasar Islam Fiqih Istinja’: Pengertian, Hukum, Alat, Tata Cara, Adab

Istinja’: Pengertian, Hukum, Alat, Tata Cara, Adab

0
istinja

Agar shalat dan ibadah lainnya sah, seorang muslim harus membersihkan diri dari najis. Setelah buang air kecil atau air besar, ia harus melakukan istinja’. Apa itu istinja’ dan bagaimana hukumnya? Lalu alat apa saja yang sah serta bagaimana tata cara melakukannya dengan alat tersebut?

Pengertian Istinja’

Kata istinja’ (استنجاء) berasal dari kata an-naja’ (النجاء) yang artinya menghindari gangguan. Orang yang beristinja akan terhindar dari kotoran dan najis yang mengganggunya.

Bisa pula dari kata an-najwah (النجوة) yang berarti dataran tinggi. Sebab, umumnya pada zaman dahulu, orang buang hajat di tempat yang tinggi atau di balik gundukan pasir yang tinggi agar tidak terlihat oleh orang lain.

Atau dari kata an-najw (النجو) yang berarti kotoran yang keluar dari dubur. Sebab tujuan beristinja memang untuk membersihkan diri dari kotoran dan bekas-bekasnya.

Syekh Musthofa Al-Bugho dalam Fikih Manhaji menjelaskan, secara istilah, istinja’ adalah menghilangkan najis dari tempat keluarnya air seni atau kotoran.

Sedangkan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu menjelaskan,istinja’ adalah perbuatan yang dilakukan untuk menghilangkan najis dengan menggunakan benda seperti air atau batu.

pengertian istinja

Hukum Istinja’

Hukum istinja’ secara umum adalah wajib ketika seseorang buang air kecil maupun air besar. Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ

Dan segala kotoran hendaklah engkau jauhi. (QS. Al-Muddatsir: 5)

Sedangkan dalil dari hadits adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

يَا مَعْشَرَ الأَنْصَارِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَثْنَى عَلَيْكُمْ فِى الطُّهُورِ فَمَا طُهُورُكُمْ. قَالُوا نَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ وَنَغْتَسِلُ مِنَ الْجَنَابَةِ وَنَسْتَنْجِى بِالْمَاءِ. قَالَ هُوَ ذَلِكَ فَعَلَيْكُمُوهُ

“Wahai kaum Anshar, sesungguhnya Allah telah memuji kalian berkaitan masalah bersuci. Seperti apakah kalian bersuci?” Mereka menjawab, “Kami wudhu untuk shalat, mandi karena junub, dan beristinja dengan air.” Rasulullah bersabda: “Pahalanya adalah untuk kalian, maka hendaklah kalian mengamalkannya.”  (HR. Ibu Majah; shahih lighairihi)

Secara rinci, hukumnya sebagai berikut:

  1. Wajib, jika yang keluar dari qubul dan dubur itu bebasahan (air kencing, madzi, wadzi, berak).
  2. Sunnah, jika keluar kotoran tetapi tidak basah.
  3. Mubah, jika wilayah tersebut hanya berkeringat.
  4. Makruh, jika yang keluar murni angin (kentut).
  5. Haram, jika menggunakan air curian.

Alat untuk Istinja’

Untuk beristinja, seseorang boleh menggunakan air atau batu (benda padat). Boleh pula menggunakan kedua-duanya.

Ada pun yang lebih utama adalah menggunakan batu lalu menggunakan air. Sedangkan jika memilih salah satunya, maka menggunakan air lebih utama daripada menggunakan batu.

Bolehnya menggunakan benda padat seperti batu merupakan kemudahan dalam Islam. Karena Allah Maha Tahu, ada kalanya seseorang tidak menjumpai air. Misalnya sewakt safar di padang pasir atau sebagian toilet di luar negeri yang tidak menyediakan air. Ada kalanya pula tidak bisa memakai air karena sakit atau hal lainnya. Ada kalanya pula kesulitan menggunakan air karena berada di musim dingin.

Baca juga: Niat Mandi Wajib

Cara Istinja’ dengan Air

Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu menjelaskan tata cara istinja’ menggunakan air. Hendaklah ia menuangkan air ke atas tangan kirinya sebelum menyentuh najis, kemudian membasuh qubulnya, yaitu saluran air kencing, dan membasuh seluruh zakarnya apabila keluar air madzi.

Kemudian barulah membasuh dubur diikuti dengan mencurahkan air dan menggosok dengan tangan kiri. Hendaklah dia membungkukkan badan sedikit kemudian menggosok duburnya dengan cermat sehingga tempat itu menjadi bersih.

Seseorang yang sedang puasa hendaknya tidak memasukkan jarinya ke dalam dubur karena tindakan itu bisa membatalkan puasa.

Baca juga: Doa Mandi Junub

Syarat Istinja’ dengan ‘Batu’

Jika menggunakan batu atau benda padat, ada sejumlah syarat agar istinja sah. Totalnya ada10 syarat yang terbagi dalam tiga kategori.

Syarat alat

Alat yang digunakan untuk beristinja harus memenuhi lima kriteria:

  1. Benda padat
  2. Suci
  3. Kering
  4. Bisa menyerap
  5. Bukan benda terhormat atau dimuliakan

Dengan demikian, benda seperti batu dan tisu boleh kita gunakan untuk beristinja. Batu akik dan botol tidak boleh kita gunakan karena tidak bisa menyerap. Roti tawar tidak boleh kita gunakan karena termasuk makanan dan semua makanan tergolong terhormat. Buku juga tidak boleh kita gunakan karena terhormat. Sedangkan tulang tidak boleh kita gunakan karena merupakan makanan jin.

Syarat cara

Terkait dengan cara, ada dua syarat yakni:

  1. Minimal 3 batu, sunnahnya ganjil.
  2. Sampai bersih (tidak tampak bekas najis lagi)

Tiga batu di sini tidak harus benar-benar tiga batu tetapi boleh satu batu yang memiliki tiga sisi dan semuanya sisinya bisa dipergunakan. Tidak boleh menggunakan hanya dua batu meskipun sudah kelihatan bersih. Demikian juga, kalau tiga batu belum bersih, harus ditambah dengan batu berikutnya dan sunnahnya ganjil. Sehingga bisa jadi lima atau tujuh.

Syarat objek

Terkait objek (najis dan jalan keluarnya), terdapat tiga syarat yaitu:

  1. Belum kering
  2. Sisa kotoran masih di tempatnya (و)
  3. Belum tercampur sesuatu

Belum kering maksudnya sesegera mungkin, jangan sampai terjeda lama hingga najis yang menempel di sekitar anus menjadi kering. Sisa kotoran masih di tempatnya artinya tidak meluber sampai keluar shafhatah (صفحته) yakni bagian pantat yang saling menempel ketika berdiri dan hasyafah (حشفته) yakni kepala (helm) kemaluan laki-laki.

Sedangkan belum tercampur sesuatu maksudnya tercampur air maupun najis lain. Misal seseorang BAK lalu kotorannya jatuh ke air dan airnya muncrat sampai mengenai bekas kotoran di sekitar anusnya. Jika terkena cipratan air seperti ini, berarti sudah tidak bisa intinja’ dengan batu, harus dengan air.

Adab Istinja’ dan Buang Hajat

Ada beberapa adab instinja’ dan buang hajat, baik terkait tempat, saat masuk WC, saat di dalam WC, maupun saat keluarnya.

1. Adab terkait tempat

Harus memperhatikan tempat buang hajat. Tidak buang hajat di tempat-tempat yang terlarang, yakni:

  • Di jalan atau tempat berkumpul, karena mengganggu orang lain.
  • Di lubang, baik lubang tanah maupun rongga dinding, karena bisa mengganggu makhluk lain.
  • Di bawah pohon buah-buahan, karena buah yang jatuh bisa terkena najis dan tidak bisa dimanfaatkan.
  • Di genangan (air yang tidak mengalir)

2. Adab ketika masuk dan keluar tempat buang hajat

  • Mendahulukan kaki kiri ketika masuk, mendahulukan kaki kanan ketika keluar.
  • Sebelum masuk WC, sunnah membaca doa masuk kamar mandi:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِث

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan. (HR. Bukhari dan Muslim)

غُفْرَانَكَ

Aku mohon ampunan-Mu ya Allah.  (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad; shahih)

Atau:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَذْهَبَ عَنِّى الأَذَى وَعَافَانِى

Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan penyakit dariku dan menjadikan aku sehat.  (HR. Ibnu Majah)

Atau gabungan dua doa tersebut.

3. Adab saat di WC dan buang hajat

  • Tidak menghadap atau membelakangi kiblat, terutama jika di tempat terbuka.
  • Tidak membawa mushaf atau tulisan berlafadz Allah.
  • Bertumpu pada kaki kiri dan menegakkan kaki kanan.
  • Tidak berdzikir dengan lisan.
  • Tidak bicara dan makan saat buang hajat.
  • Segera beristinja’
  • Istinja’ menggunakan tangan kiri.

Demikian pengertian istinja’ dan hukumnya, alat, tata cara, serta adab. Semoga bermanfaat, membuat kita semakin memahami fiqih thaharah dan mengamalkannya hingga ibadah kita menjadi sah dan Allah menerimanya. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

Maraji’:

  • Fiqih Islam wa Adillatuhu karya Syekh Wahbah Az-Zuhaili
  • Fiqih Empat Madzhab karya Syekh Abdurrahman Al-Juzairi
  • Fiqih Manhaji karya Syekh Mushthofa Al-Bugho
  • Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq
  • Safinatun Najah karya Syekh Salim bin Salim Al-Hadhrami